Melawan penjajahan energi: perjuangan untuk otonomi masyarakat adat di India Tengah-Timur

Gambar
Shramdaan (Voluntary Work): villagers from several hamlets of Rajmahal area come together to build a water as well as soil conservation structure (Photo: Somnath)
Shramdaan (Voluntary Work): villagers from several hamlets of Rajmahal area come together to build a water as well as soil conservation structure (Photo: Somnath)

"Masyarakat perlu mempertimbangkan apa yang benar-benar mereka inginkan; mereka tidak boleh hanya bergantung pada skema atau insentif. Di sini, kami tidak perlu listrik atau tenaga surya untuk irigasi. Sejak zaman nenek moyang kami, kami mengandalkan hujan dan sungai, dan kami harus terus menghidupkan kembali hubungan dengan alam", jelas Sunita Paharia, seorang penduduk desa dari Pebukitan Rajmahal. Di India bagian ini, masyarakat dengan sejarah panjang perlawanan terhadap perampasan wilayah leluhur sedang berjuang membangun kembali otonomi dan masa depan mereka.

Saat ini di dunia, energi adalah pengerak peradaban. Namun, hubungan antara energi dan pembangunan ekonomi menghadirkan paradoks yang mendasari banyak isu sosial-politik. Energi memengaruhi struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat, politik, dan budaya, yang menentukan siapa yang memproduksi, memiliki, dan juga siapa yang terpinggirkan.

Energi bukan sekadar isu ekonomi yang terkait dengan pembangkitan energi daya, juga bukan sekadar sistem distribusi untuk memfasilitasi konsumsi. Yang menjadi perhatian adalah apa arti energi bagi komunitas yang berakar pada bentang alam tertentu, karena energi terkait erat dengan makananpangan, mata pencahariansumber kehidupan, kesehatan, dan praktik komunal mereka, yang sering kali merupakan hak, martabat, dan otonomi yang harus mereka perjuangkan. Artikel ini membahas nuansa-nuansa ini dalam konteks yang terjadi di India.

Kami berfokus pada lanskap hutan kuno Bukit Rajmahal, yang menjulang dari Sungai Gangga, serta lembah dan dataran rendahnya, yang membentang melintasi negara bagian Jharkhand dan Benggala Barat di India Tengah-Timur. Daerah ini merupakan rumah bagi beberapa komunitas adat, termasuk Santhal, Oraon, dan Pahariya.

Mereka adalah komunitas yang memiliki sejarah panjang dan berdarah-darah dalam perebutan tanah, hutan, dan alam, yang dimulai bahkan sejak masa pra-kolonial. (1)

Selama era kolonialolonial, masyarakat hutan ini terus berjuang melawan serbuan dan perampasan yang diatur oleh kekuatan kolonialolonial melalui pergeseran ekologi dan demografi. Pada tahun 1765, British East India Company (Perusahaan Hindia Timur Inggris) mengatur Diwani, atau hak pemerintahan, yang menandai dimulainya pemungutan pendapatan pajak secara langsung dari wilayah tersebut. Beberapa tahun kemudian, Perusahaan memperkenalkan sistem tenurial baru dan terkenal yang disebut Permanent Settlement, yang mendelegasikan wewenang dan pemungutan pendapatan pajak atas tanah dan hutan adat kepada kelas tuan tanah besar yang baru dibentuk yang dikenal sebagai zamindar. Sistem ini menghancurkan ekologi dan kehidupan masyarakat adat, yang sebagian besar adalah petani ladang, demi pertanian menetap atau 'mapan'. (2) Namun, medan hutan yang terjal di daerah perbukitan atas Rajmahal sebagian besar tidak cocok untuk perluasan pertanian tersebut. Di Pebukitan Rajmahal, suku Pahariya asli adalah suku semi-nomaden dan sering mempraktikkan apa yang secara lokal disebut Jum (pertanian ladangan berpindah-pindah). (3) Mereka sangat mandiri dan menolak kendali eksternal. Para penguasa kolonial merasa sangat sulit untuk menjinakkan mereka, sering kali mencap mereka sebagai penjahat dan orang barbar. (4)

Pada awal abad ke-19, untuk menenangkan meredamkan ketegangan di wilayah tersebut, pemerintah Inggris menetapkan wilayah yang disebut Damin-i-Koh, untuk sebagai pemukiman Santhal. Suku Santhal ini, para merupakan migran dari wilayah lain di Jharkhand dan Benggala Barat, dibawa ke Damin-i-Koh untuk menebang hutan dan menjadi petani. (5) Kedatangan Santhal ini Sambil menciptakan ketegangan antara suku Pahariya dan Santhal, sementara para penjajah membatasi memaksa penduduk menetap dan di pemukiman sambil membebaskanmengosongkan wilayah leluhur mereka untuk kegiatan penjajahan yang lebih besarlain, seperti pertanian skala besar pada saat itu.

Setelah perjuangan kemerdekaan pertama di India, pada tahun 1857, karena ekspansi kolonial terus berlanjut, tekanan terhadap tanah suku meningkat,. Bahkan pemukiman Santhal diserbu oleh Inggris. Situasi tersebut menyebabkan pemberontakan dari skala kecil hingga besar, dan negara kolonial mencoba kebijakan baru untuk meredakan kerusuhan tersebut. Negara kolonial memperkenalkan beberapa perubahan hukum dan administratif, yang memberi penduduk suku sistem tenurial yang lebih aman dan perlindungan terhadap perampasan tanah oleh orang-orang non-suku. (6) Selain itu, pemerintah kolonial mendeklarasikan sebagian besar wilayah India Tengah-Timur dan jantung India Tengah sebagai “wilayah yang dikecualikan”, yang berarti, setidaknya di atas kertas, bahwa negara tidak akan ikut campur dalam urusan sehari-hari masyarakat.

Meskipun telah terjadi reformasi, otonomi suku terus menerus berada di bawah ancaman. Perampasan tanah terus berlanjut, bahkan setelah kemerdekaan India pada tahun 1947. Atas nama 'kepentingan nasional,' infrastruktur raksasa, industri, dan proyek energi, seperti bendungan besar, pembangkit listrik tenaga termalpanas bumi, dan operasi pertambangan, telah dibangun, dengan merambah hutan, lahan pertanian, dan tanah komunal di seluruh negeri.

LahanTanah, Energi dan Komunitas: Skenario Saat Ini

Tatanan Global telah berubah di abad ke-21; meskipun demikian, di lanskap bersama Jharkhand, Bengal, dan Bihar, perjuangan masyarakat adat sejak lama untuk mempertahankan tanah dan kehidupan mereka dari ancaman eksternal terus berlanjut.

Di distrik Godda, misalnya, pemilik tanah setempat menghadapi tuntutan pidana ketika mereka memprotes dan memulai tindakan hukum terhadap penggusuran untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Godda. Pada tahun 2016, Adani Group mengajukan permohonan persetujuan untuk pembangkit listrik tenaga panas 1.600 MW ini. Pada tahun 2017, 917 hektar (371 hektar) telah diamankan, yang memengaruhi banyak desa, dan pada tahun 2023, tahap pertama beroperasi padadengan kapasitas 800 MW telah beroperasi. Proyek ini, yang pertama dengan mendapatkan status Zona Ekonomi Khusus, bertujuan untuk mengekspor listrik ke Bangladesh. Namun, nyatanya Adani Group kini juga dapat menjual listrik di dalam negeri.(7)

Pada tahun 2008, polisi menembaki protes damai oleh suku yang ada di distrik Dumka terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara 1.000 MW milik Sanjiv Goenka Group, yang melukai beberapa peserta dan menangkap yang lainnya. (8)

Di distrik Birbhum di Benggala Barat, perluasan wilayah Pebukitan Rajmahal, proyek pertambangan batu bara Deocha-Pachami-Dewanganj-Harisingha, sebuah inisiatif senilai ₹12.000 crore ($1,45 miliar USD) yang menggusur hampir 18.000 orang, telah memicu protes sengit. Meskipun ada janji kompensasi, pemilik tanah menolak untuk pindah, serta menuntut perlakuan yang adil. Sejak tahun 2019, protes yang dipimpin oleh masyarakat suku adat dan penduduk lokal telah menghentikan penambangan dengan mengungkap bahwa dewan desa otonom dari masyarakat suku adat dan suku Dalit tidak diajak berkonsultasidilibatkan selama proses akuisisi dan rehabilitasi tanah. (9) (10)

Dengan semakin banyaknya proyek yang berkembang, proyek-proyek tersebut meningkatkan ketegangan antara kerusakan ekologi dan perampasan hak milik manusiatanah masyarakat. Dalam lanskap yang diperebutkan ini, janji akan pembangunan, yang tumbuh subur karena meningkatnya permintaan energi, menghadapi penolakan keras dari masyarakat setempat, seperti halnya kasus masyarakat di Pebukitan Rajmahal. (11)

Regenerasi Lanskap oleh masyarakat di Pebukitan Rajmahal 

Komunitas Pahariya, bersama dengan suku Santhals dan komunitas suku lain yang bermukim di daerah perbukitan Rajmahal Hills, telah lama bergantung pada mata air alami yang terletak di puncak bukit untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penggundulan hutan yang parah telah menyebabkan mata air ini mengering, yang menyebabkan kelangkaan air yang parah di sebagian besar desa di puncak bukit.

Anggota komunitas harus mengalami dampak buruk dari hal ini: “Karena kelangkaan air yang parah dan penggundulan hutan, orang-orang dari desa-desa menderita kekurangan makanan dan gizi - situasi yang suram itu membuat kami harus kami melakukan sesuatu dengan upaya dan kerja keras kami”, ucap Subasini Soren, seorang aktivis perempuan adat dari daerah tersebut. Ia menambahkan: “Bukan hanya makananpangan, pertanyaan yang lebih besar adalah bagaimana kami dapat melindungi hHutan dan sumber air kami, karena tanpa sumber ini kami tidak dapat bertahan hidup”. Sunita Paharia dari desa Bodopahar berkata dengan gelisah, “Orang-orang di luar tidak akan memahami betapa seriusnya masalah air yang kami hadapi. Pohon-pohon dan orang-orang di sini sama-sama sekarat”

Untuk mengatasi krisis di lanskap tersebut, sebuah inisiatif kolaboratif diluncurkan pada tahun 2018. Inisiatif ini, yang dipelopori oleh kelompok lokal Jharkhand Vikas Parishad (JVP), dimulai di desa Nipania. Dengan dukungan kuat dari para relawan muda JVP dan pemuda setempat, warga berpartisipasi aktif dalam pertemuan rutin untuk memastikan perencanaan partisipatif yang efektif. (12) Sunita menjelaskan: “Awalnya kami tidak punya ide yang lebih besar. Bagaimanapun, kami mulai mengumpulkan orang-orang di Gram Sabha, dewan desa otonom kami. Kemudian, sebuah resolusi disahkan. Kami mencoba bekerja dengan cara yang memungkinkan semua orang di komunitas memiliki autonomi dan mewujudkan otonomi ini dapat terwujud”.

Subasini menambahkan: “Sebagian besar pPerempuan paling banyak berpartisipasi berperan dalam seluruh proses. Sebenarnya, dari lubuk hati, mMereka sangat menyadari dari lubuk hati yang paling dalam apa artinya tidak memiliki air. Mereka memutuskan untuk bersama-sama membawa air dari sumber yang jauh untuk keluarga dan hewan peliharaan mereka —krisis ini mereka alami sejak awal, dan mereka telah membawa perubahan secara radikal untuk komunitas mereka”.

Partha Dey, seorang aktivis sosial dari Benggala Barat yang membantu masyarakat dalam masalah ini, juga mengatakan: “ Keseluruhan inisiatif ini sangat penting untuk memahami jenis otonomi sosial-politik yang diperlukan untuk memberdayakan masyarakat dalam berbagai masalah seperti energi dan pangan, dan untuk mempertimbangkan bagaimana hal ini diterjemahkan ke leveldalam keterlibatan individu akar rumput agar individu yang terlibat lebih besar dan memilikiadanya rasa kepemilikan atas pekerjaan tersebut”.

Upaya restorasi lanskap menargetkan daerah punggung bukit untuk meningkatkan pengisian ulang air bawah tanah di lembah-lembahnya. Pemasangan jaringan pipa air dari mata air yang jauh memberikan bantuan langsung dan menghidupkan kembali harapan di masyarakat.

Damu Paharia dari desa Bodopahar berkata, “Ketika kami mulai bekerja di satu daerah tangkapan air, orang-orang dari desa lain pun terinspirasi. Mereka juga mengadakan pertemuan Gram Sabha untuk memulai pekerjaan serupa di daerah tangkapan air lainnya.” Bersama dengan Daerah Tangkapan Air Sarunala, berbagai anak sungai Bansloi juga dipertimbangkan. Inisiatif tersebut akhirnya meluas hingga mencakup 75 desa di komunitas Paharia dan Santhal. Penduduk desa secara bertahap mengadopsi metode konservasi tanah dan air tradisional — dinding batu, bendungan penahan, gully plug (pencegah erosi), dan kolam penampungan.

Menurut Damu, di desa-desa di daerah tangkapan air bagian bawah, orang-orang juga telah memperdalam kolam dan badantang air yang sudah ada, dan menggali danau dan embung baru untuk menyimpan air dari daerah atas selama setiap musim hujan. Sujit Choudhury, seorang ahli geologi dan insinyur terlatih yang sangat terlibat dalam aspek teknis pekerjaan restorasi daerah aliran sungai, mengatakan: “Kami membagi Daerah Aliran Sungai Bansloi menjadi daerah aliran sungai mikro seperti yang ada di Sarunala. Penduduk desa dari setiap daerah aliran sungai mengurus daerah setempat mereka. Proses perawatan akar rumput dalam mengelola lahan dan air secara akar rumput ini merupakan kunci dalam seluruh upaya ini”.

"Ketika saluran air mulai terisi dan ladang menjadi sedikit lembabbasah, kami memulai gerakan penanaman untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan pohon-pohon asli. Selain itu, kami mulai mengumpulkan benih, yang digunakan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki untuk membuat bola benih. Mereka kemudian menyebarkan bola benih ini di daerah yang gundul di dekat batas hutan tradisional. Setelah hujan pertama di musim itu, daerah tersebut menyaksikan perkecambahan, dan sekarang tanaman tersebut telah tumbuh", jelas Subasini yang dengan sangat gembira menggambarkan transformasi tersebut. 

Sunita juga mengatakan, “Sekarang kami bisa menanam lebih banyak tanaman, bisa mandi sesuai keinginan, dan ternak kami juga bisa hidup dengan nyaman. Kami punya lebih banyak padi, jagung, dan daals kacang-kacangan (kacang-kacanganlentils, kacang-kacangangram) di ladang kami. Ini adalah perubahan besar bagi kami.” Dengan demikian, upaya berkelanjutan penduduk desa secara bertahap memulihkan siklus hidrologi dan ekosistem setempat, meningkatkan kehidupan dan mata pencaharian. Damu mengatakan: “Kami memantau saluran air, kami merawatnya, dan tidak hanya itu, kami juga membuat lebih banyak orang sadar melalui rapat umum dan pertemuan”. Kepemimpinan pemuda menjadi kekuatan pendorong, menyelenggarakan acara-acara seperti pertemuan petani, pertandingan panahan dan sepak bola, dan rapat umum Jal Jatra (gerakanopular kesadaran daerah aliran sungai) yang populeropular. Keterlibatan aktif mereka menarik perhatian masyarakat lainnya, yang selanjutnya memperkuat inisiatif tersebut. (13)

Sekali lagi, Subasini menjelaskan: “Sekarang masyarakat menggunakan metode rotasi tanaman tradisional. Mereka menanam – Dhan (padi), Til (biji wijen), Tisi (biji sesawi), Sarsho (ketiga biji minyak lainnya) dll. Mereka mengonsumsinya dan menjual kelebihannya ke haat (pasar lokal)”.

Pengembangan energi melawan perjuangan untuk otonomi

Menurut Subasini, desa Jharkhand kekurangan listrik dan fasilitas lain yang memadai yang sering dianggap sebagai indikator pembangunan. MenariknyaIronisnya, Jharkhand adalah produsen batu bara terbesar di India. (14) Menurut catatan Otoritas Listrik Pusat, tentang kapasitas terpasang negara bagian,di Jharkhand pada November 2021 memiliki mencapai total kapasitas terpasang sebesar 4.556,42 MW per November 2021. Dari jumlah tersebut, mayoritas, 4.250 MW, berasal dari sumber termal, sementara sebagian kecil, sekitar 300 MW, dihasilkan dari sumber non-termal. (15)

Partha mengungkapkan keresahannya: “Di satu sisi, pemerintah mempromosikan mendorong perkebunan swasta, termasuk penghijauan milik perusahaan, di Jharkhand. Di sisi lain, mereka membangun jalan, gedung, dan bahkan jamban beton untuk pembangunan masyarakat. Ironisnya, masyarakat kesulitan menggunakan fasilitas ini karena di daerah tanpa airtidak ada air tanah atau sumber air lainnya. Di samping jalan raya empat jalur yang besar, operasi juga dibangun penambangan pertambangan yang luas, dan bendungan sedang dibangun. Apakah ‘pembangunan’ ini melayani masyarakat setempat? Bagaimana pembangunan yang didorong oleh energi ini menumbuhkan otonomi akar rumput yang nyata di mana masyarakat dan hutan mereka dapat bertahan hidup?”.

Mithilesh Kumar, seorang aktivis veteran yang bekerja pada tata kelola hutan masyarakat dan hak-hak suku di Jharkhand, menjelaskan situasi yang rumit tersebut, dengan mengatakan: “Dari tambang, batu bara langsung menuju ke pembangkit listrik termal, yang menghasilkan listrik, tetapi siapa yang diuntungkan? Daerah suku di Jharkhand menderita akibat hubungan ini; selain itu, mereka sering kali kekurangan akses ke listrik. Tantangan yang lebih besar adalah bahwa orang-orang menderita akibat air minum yang terkontaminasi dan kesehatan yang buruk di mana pun penambangan pertambangan terbuka terjadi. Lingkungan juga terdegradasimemburuk, dan hewan liar pindah ke tempat lain. Orang-orangPenduduk terpaksa bertanu dengan satu jenis tanaman saja bergantung pada pertanian tanaman tunggal, mereka tidak memiliki akses ke makananpangan dari hutan dan atau penangkapan menangkap ikan karena tempat tersebut berubah menjadi gurungersang”.

Hal ini menimbulkan pertanyaan inti tentang makananpangan, gizi, dan kesehatan, dalam konteks apa arti energi, atau percepatan produksinya, bagi suatu komunitas. Dan, jawabannya dapat ditemukan dalam suara Subasini. Ia yang menekankan: “Namun, kami telah menciptakan semua hal yang berarti pembangunan bagi kami, bagi komunitas suku – Rimba, Air, MakananPangan, dan Budaya – dengan kerja keras dan cinta kami sendiri”. Mithilesh juga sependapat: “Mereka dapat hidup tanpa listrik, tetapi tidak tanpa senyum dan rasa puas tenteram yang terjalin dengan budaya dan hutan mereka – tanpa mengembalikan hutan dan air, masyarakat tidak akan bertahan hidup. Masyarakat adat akan terus berjuang untuk menegakkan otonomi kedaulatan atas tanah dan masyarakat mereka”.

Damu setuju dengan apa yang dikatakan Sunita: "Orang-orang perlu mempertimbangkan apa yang benar-benar mereka inginkan; mereka tidak boleh hanya bergantung pada skema atau insentif. Di sini, kita tidak perlu listrik atau tenaga surya untuk irigasi. Sejak zaman nenek moyang kita, kita telah bergantung pada hujan dan sungai, dan kita harus menghidupkan kembali hubungan itu. Kita perlu mendengarkan alam. Pertanian kita bergantung pada pemahaman ini. Kita harus membangun kembali desa dengan fokus pada hubungan kita dengan tanah, air, dan udara. Elemen-elemen ini berarti segalanya bagi kita dan membantu kita menanam makanan kita dan hidup bahagia".

Suara Subasini yang kerastegas berlanjut: “Ketika saya baru-baru ini mengunjungi lokasi pertambangan di sekitar sini, saya melihat bahwa batu bara diekstraksi dengan cara meratakan hutan dan lahan pertanian, menggusur masyarakat, tidak hanya orang-orangnya, tetapi juga budaya dan sejarah mereka. Dan, Negara mencoba meyakinkan kita bahwa energi itu untuk pembangunan kita! Tetapi mereka membodohi kita. Mereka memberi kita ponsel dan gawai digital lainnya untuk membuat kita berkhayal tentang apa yang kita butuhkan untuk bertahan hidup di bumi ini”. Di sini, dia menyimpulkan, dengan pertanyaan lama yang sama: “Energi ini, yang membebani kehidupan kita, hutan kita, untuk siapa? Apakah untuk mereka yang dapat menjualnya demi keuntungan dan mendorong kita untuk menenggelamkan diri kita dalam dunia digital yang penuh dengan orang-orang bodohpenuh kemewahan tapi kosong?”.

Dari Jharkhand hingga sudut terjauh dunia, kebijakan agresif untuk mempromosikan mendorong pertambangan untuk demi pembangkitan listrik menyebabkan menipisnya penipisan sumber daya alam yang mengancam keberadaan masyarakat. Siklus ini terus berlanjut tanpa memperhatikan keragaman, sejarah budaya, dan ekologi yang melekat pada masyarakat. Kisah Rajmahal yang kami sajikan secara singkat di sini menandakan adanya pemutusan dalam siklus ini; di satu sisi, kisah ini menolak konsep penjajahan energi, dengan menolak ekstraktivisme dan perampasan tanah, sementara di sisi lain, kisah ini menempatkan energi dalam ruang komunal, dengan mengaitkannya dengan melalui pemulihan hutan, daerah aliran sungai, dan produksi pangan. Bagi lanskap perbukitan Rajmahal yang sangat terjajah, terluka, dan telah lama rusak, kisah ini menawarkan pandangan terhadap dunia yang berbeda—tentang kepemilikan bersama, otonomi sosial-politik, dan demokrasi akar rumput.

Tithi Roy
Kolkata, India
[Seorang Peneliti dan Aktivis Independen, yang bekerja dengan Komunitas Hutan Sub-Himalaya di Benggala Utara] 

 

Referensi:

(1) Dalam berbagai sejarah, ekologi, dan ruang, masyarakat adat di India terus berjuang mempertahankan hutan mereka, khususnya di India Tengah dan Tengah-Timur, yang meliputi provinsi-provinsi Benggala Barat, Jharkhand, Odisha, Chhattisgarh, Madhya Pradesh, dan Maharashtra saat ini. Di antara provinsi-provinsi tersebut, Jharkhand menonjol karena sejarah perjuangan hutannya, yang dimulai sejak masa pra-kolonial ketika raja-raja dan kepala suku bertempur dengan sengit melawan Tentara Mughal yang tangguh, dalam Ghosh, S, (2006). Reinventing Forest Commons. Makalah Penelitian yang Tidak Diterbitkan.

(2) Dutt, R. C, (2001). Economic History of India, Calcutta

(3) Hunter, W. W, (1868). Annals of rural Bengal (Dicetak ulang edisi 1996). Kolkata.

(4) Radhakrishna, M, (2001). Dihina Oleh Sejarah: ‘Suku Kriminal’ dan Kebijakan Kolonial Inggris, Orient Longman, Hyderabad

(5) Damin-i-Koh saat ini meliputi distrik Pakur, Godda, Dumka, dan Sahibganj di Jharkhand, yang berbatasan dengan distrik Birbhum di Benggala Barat Hunter, W. W. (1868). Annals of rural Bengal (Dicetak ulang edisi 1996). Kolkata.

(6) Pada saat itu, situasi tersebut menyebabkan pemberontakan kecil dan besar, dan negara kolonial mencoba kebijakan baru untuk meredakan kerusuhan tersebut. Di bawah tekanan, Kerajaan Inggris memperkenalkan beberapa perubahan hukum dan administratif, misalnya, Undang-Undang Kepemilikan Chota Nagpur, 1908, dan pengakuan sistem adat seperti Mundari Khunt Katti, yang keduanya memberi masyarakat suku sistem kepemilikan yang lebih aman dan perlindungan terhadap perampasan tanah oleh non-suku Ghosh, S. (2010). Perjuangan untuk hutan India. South Asian Journal 28, Lahore

(7) Land Conflict Watch. (2024, September). Jharkhand menyetujui pembangkit listrik termal Adani, dan petani menuduhnya melanggar Undang-Undang LARR.

(8) Guha Thakurta, P. (2024, August 23). Pembangkit listrik tenaga batu bara Godda milik Adani dan Bangladesh: Perubahan aturan tentang ekspor listrik menguntungkan 'kroni' Modi. Adani Watch.

(9) Land Conflict Watch (2024, September). Jharkhand menyetujui pembangkit listrik termal Adani; petani menuduhnya melanggar Undang-Undang LARR.

(10) NAPM & Sanhati (2008). Laporan tentang penembakan polisi di Dumka, Jharkhand: Lokasi proyek pembangkit listrik dan bendungan yang kontroversial.

(11) Land Conflict Watch (2016, Desember). Masyarakat adat menentang akuisisi lahan untuk blok batu bara Deocha Pachami di Benggala Barat.

(12) IRBMS (2024, December). Menghidupkan kembali sumber daya air di desa-desa Paharia di Rajmahal Hills

(13) Choudhury, S. (2023, August). Pemberdayaan pemuda dalam pengelolaan daerah aliran sungai di Jharkhand, India. Berita dan Acara IUCN.

(14) Coal & Lignite Resource: https://coal.gov.in/en/major-statistics/coal-reserves

(15) Times of India (Desember, 2021). Meskipun ada 144 Tambang Batu Bara & 7 Pembangkit Listrik, krisis listrik semakin memburuk di Jharkhand.