Inti Permasalahannya: Kita Perlu Bicara TentangMembicarakan Energi

Gambar
Energy

Akar krisis iklim yang kita alami bukan pada sumber energi yang kita gunakan, tetapi pada logika dari apa yang kita maksud dengan 'energi'. Meskipun sulit untuk membayangkannya saat ini, gagasan tentang energi tidak selalu ada. Energi diciptakan untuk tujuan yang sangat spesifik: menumpuk modal. Selama kita terus menormalkan 'energi' sebagai sumber daya pentingkebutuhan mutlak bagi kehidupan manusia, kita tidak akan pernah melihat penyebab sebenarnya dari kerusakan iklim yang kita alami: sistem sosial yang dirancang untuk menumpuk kekayaan.

Kita harus berbicara membicarakan gagasan tentang gagasan 'energi', karena ini mungkin merupakan inti permasalahan yang akan memungkinkan kita untuk menghadapi mengatasi kekacauan iklim yang sedang kita alami. Dan kita tidak bermaksud untuk mengadakan perdebatan ilmiah di sini. Bagaimanapun, Peraih Nobel Fisika Richard Feynman sendiri menyatakan: "dalam fisika saat ini, kita tidak lagi memiliki pengetahuan tentang apa itu energi". Jadi, mari kita membebaskan diri dari perdebatan ilmiah itu untuk berfokus pada apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam hal 'energi': asal mula perang dunia dan pandangan dunia yang telah meninggalkan jejak kehancuran, pelanggaran, dan ketidakadilan.

Ada banyak orang yang bahkan tidak menggunakan kata 'energi' dalam konsepsi mereka tentang bagaimana dunia bekerja. Namun, semua bentuk penghidupan keberlanjutan hidup orang-orang dan komunitas yang mendiami hutan, tepi sungai, sabana, dan wilayah lain dapat disebut 'energi'. Ketika jagung tumbuh di bawah sinar matahari; ketika kayu dikumpulkan dan dibakar untuk memanggang ikan; ketika ikan itu dimakan dan diubah menjadi nutrisi; ketika angin atau sungai menggerakkan kincir; atau bahkan ketika api digunakan untuk terhubung dengan dunia roh. Energi ini hadir dalam berbagai tindakan bertahan hidup sehari-hari – baik bagi manusia maupun non-manusia. Untuk setiap lingkungan, musim, dan budaya, ada cara berbeda untuk menghasilkan 'energi' untuk hidup.

Di sisi lain, kita memiliki 'masyarakat komoditas' – salah satu pemikir dan dukun adat Yanomami Davi Kopenawa menyebutnya masyarakat kapitalis – yang menggunakan 'energi' sebagai cara lain untuk menumpuk kekaayaan. Energi ini mengabaikan siklus alam dan keragaman budaya. Energi ini mengubah alam menjadi 'sumber daya': sungai, angin, sinar matahari, dan, tentu saja, bahan organik seperti minyak, batu bara, dan gas alam. Dalam kasus ini, fokus energi bukanlah untuk bertahan hidup, melainkan penyakit yang menjadi ciri khas kapitalisme: keserakahan yang tak terpuaskan akan uang. Dan 'perang dunia' ini terjadi tepat ketika – baik didorong oleh energi maupun dalam pengejarannya pencariannya – masyarakat komoditas menyerang masyarakat lain, yang menimbulkan pelanggaran serius.

Bagi banyak Masyarakat Adat, kata-kata memiliki nilai sakral. Apa yang diucapkan memiliki pengaruh atas dunia dan merupakan kekuatan untuk membuat sesuatu terjadi. Itulah sebabnya penting untuk merenungkan dan menemukan  gagasan khusus tentang 'energi' ini – karena dari kata ini akan lahir dunia baru. 

Dunia yang diciptakan oleh 'energi'

Meskipun sulit dibayangkan saat ini, gagasan tentang energi tidak selalu ada. Konsep energi yang kita ketahui saat ini diciptakan pada abad ke-19 oleh orang kulit putih di Eropa Utara, di tengah Revolusi Industri. Konsep ini berawal dari "Hukum Termodinamika", yang dikembangkan oleh para insinyur yang terkait dengan industri bahan bakar fosil dalam masyarakat kapitalis. Hal ini saja sudah memberi tahu kita banyak hal. Seperti semua penemuan teknologi dan ilmiah, penemuan ini juga tidak netral: dengan kata lain berkaitan erat dengan ras, gender, ideologi, serta aliansi politik dan ekonomi.

Energi bukanlah sesuatu yang 'ditemukan'. Memang, ada catatan tentang minyak dan gas alam yang ditemukan di berbagai waktu dan tempat sepanjang sejarah manusia, tanpa pernah terpikirkan adanya gagasan tentang 'energi'. Gagasan khusus tentang energi ini muncul dalam masyarakat kapitalis industri, ketika para pengusaha menyadari bahwa mereka dapat menggunakan bahan bakar fosil untuk meningkatkan produktivitas mesin, mengendalikan tenaga kerja, dan mengakumulasi modal. Teori yang memunculkan konsep energi ini muncul dari karakteristik bahan bakar fosil ini dan penggunaannya yang sangat besar oleh industri.

Salah satu karakteristik utama bahan bakar ini adalah bahwa cadangan bahan organik (batubara, minyak, dan gas alam) seperti jutaan tahun sinar matahari yang menjadi memfosilbatu. Oleh karena itu, bahan bakar ini memiliki daya pembakaran yang sangat tinggi. Sebagai gambaran, satu studi menunjukkan bahwa jumlah bahan bakar fosil yang digunakan di seluruh dunia pada tahun 1997 setara dengan cahaya yang digunakan oleh semua tanaman di Bumi untuk tumbuh selama lebih dari 400 tahun. (1)

Selain potensinya, bahan bakar fosil menawarkan keuntungan lain bagi masyarakat yang ingin menumpuk: bahan bakar tersebut berlimpah, mudah diangkut, dan mudah disimpan. Dengan demikian, bahan bakar ini dapat diakses dalam jumlah besar dan mesin-mesin dapat terus beroperasi secara independen dari siklus alam. Kombinasi bahan bakar ini dan masyarakat industri kapitalis, dengan mesin uap yang baru ditemukan, memunculkan sejarah yang kita semua tahu: kemajuan kapitalisme dan kolonisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Mari kita ambil contoh yang bagus tepat untuk menggambarkan hubungan ini. Pada abad ke-19 yang sama saat Revolusi Industri di Eropa, di sepanjang wilayah pesisir Afrika Barat, pedagang Inggris berlayar untuk pertama kalinya di beberapa bagian Sungai Niger – meskipun arus dan anginnya tidak bersahabat – karena mereka berada di atas kapal uap. Mesin bertenaga batu bara membawa kolonisasi Eropa ke tempat-tempat yang tidak akan pernah dicapai dengan kapal layar tradisional. Sejak saat itu, perusahaan-perusahaan Anglo-Saxon telah mengeksploitasi sumber bahan bakar seperti minyak kelapa sawit dan minyak bumi dalam skala besar di wilayah ini. (2)

Dan bagaimana gagasan energi cocok dengan cerita ini? Gagasan ini sebagai penyamaran yang menarik dan tampak netral yang memungkinkan kapitalisme industri predator untuk maju dengan cepat dan tak terkendali.

Setelah teori termodinamika dikembangkan, energi mulai dipahami sebagai 'benda', sesuatu yang abstrak dan berlaku secara universal, yang dapat diukur, dan karenanya, diperdagangkan. Selain itu, ia mulai dianggap sebagai sumber daya penting bagi kehidupan manusia. Jalan pun terbuka bagi elit ekonomi masyarakat yang tak pernah puas untuk mengorganisasi diri mereka sendiri di sekitar kebutuhan baru yang mereka ciptakan sendiri (dan yang, tentu saja, akan mereka sediakan sendiri): energi.

Mari kita lihat lebih dekat bagaimana ini terjadi. 'Energi' mulai dilihat sebagai substansi abstrak, tanpa memperhitungkan hubungannya dengan konteks sosial dan alami asal-usulnya. Ia dapat diproduksi, diangkut, disimpan dalam pembangkit listrik besar (atau dalam baterai kecil), dan didistribusikan, tanpa hubungan antara produksi dan konsumsinya terlihat.

Hal ini mendorong kapitalis masyarakat kapitalis dalam beberapa cara. Hal ini memungkinkan pabrik untuk beroperasi di mana saja, dan sepanjang waktu. Hal ini juga membuat energi dapat diakses dalam skala besar untuk sejumlah besar rumah – memperluas pasar konsumen dan menciptakan gaya hidup baru yang bergantung pada energi. Abstraksi ini juga membingungkan mengaburkan produksi energi; yaitu, 'masyarakat biasa' tidak lagi memahami teknik yang digunakan untuk menghasilkan energi, dan mereka menjadi semakin bergantung pada perusahaan energi. Sifat abstrak energi juga membuatnya lebih mudah untuk dikonsumsi tanpa banyak mempertanyakannya. Mungkin masyarakat kita akan bereaksi secara berbeda jika kita dapat membangun hubungan langsung antara setiap tombol yang kita tekan dan kerusakan kawasan hutan yang luas – kerusakan yang mengancam masyarakat dan penduduk hutan untuk mengeksploitasi tambang batu bara, ladang minyak, tambang litium, dan ladang angin. (3)

Konsep 'energi' ini sebagai sesuatu yang universal memungkinkan untuk mengubah dan membandingkan berbagai gaya: gaya air, kekuatan otot sapi, kekuatan angin, panas kayu yang terbakar dalam api, panas bahan bakar fosil, sinar matahari, dll. Semuanya telah diubah menjadi 'energi'. Dengan perubahan perspektif ini, fitur geografis tertentu mulai dilihat sebagai sumber energi, dan alam mulai diukur sebagai 'sumber daya alam' yang dapat diperdagangkan. Sungai dengan turunan curam yang tidak menghasilkan energi; ladang batu bara, litium, atau uranium yang tidak dieksploitasi; wilayah dengan angin konstan dan tidak ada ladang angin – semua ini telah dilihat sebagai 'sumber daya alam' yang terbuang sia-sia.

Dallam misi upaya untuk menemukan sumber energi baru, perusahaan multinasional dan pemerintah dari 'masyarakat komoditas' memeriksa peta dunia untuk mencari wilayah baru tempat mereka dapat mengekstraksi sumber daya alam sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka. 'Energi' adalah bisnis itu sendiri, serta bahan bakar yang memutar roda gigi masyarakat kapitalis industri dengan kecepatan penuh.

Di balik kedok menarik di balikdalam konsep 'energi,' perusahaan-perusahaan dan pemerintah ini mampu menjalankan bisnis mereka – yaitu, memenuhi permintaan energi yang terus meningkat dan menyediakannya bagi semua orang – seolah-olah itu adalah 'misi kemanusiaan.' Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menganggap akses universal terhadap energi sebagai hak asasi manusia yang fundamental. Didukung oleh energi fosil, air, angin, dan matahari, perusahaan-perusahaan dengan cepat menyerbu dan mengintervensi dunia dari beragam orang-orang lain yang tinggal bersama mereka di planet ini.

Dunia bertabrakan: kekerasan yang didorong oleh energi

Bagi banyak Bangsa, kontak pertama mereka dengan dunia barat berkulit putih sangat menakutkan, dan masih menakutkan. Secara umum, pertemuan ini terjadi dengan cara yang keras, yaitu ketika penjajah berkulit putih ini menyerbu wilayah mereka dan menghancurkannya untuk mencari 'sumber daya alam.' Begitu penjajah mulai terdorong oleh energi, menjadi semakin sulit untuk menghentikan mereka dan bahkan mengusir mereka dari wilayah yang mereka invasi.

Misalnya, di Nigeria, Bangsa Ogoni, Ikot Ada Udo, Oruma dan Goi telah mengalami kerusakan sungai dan muara. Hal ini disebabkan oleh ekstraksi minyak skala besar yang terjadi setelah perusahaan multinasional tiba di negara tersebut. Pada tahun 2013, putusan terhadap Shell mengakui beberapa dampak ini. Namun, perusahaan lain – seperti Chevron Corporation, ExxonMobil dan NNPC milik negara Nigeria – terus beroperasi di wilayah ini, dengan rencana investasi jutaan dolar untuk mengeksplorasi minyak di wilayah Delta Niger dalam beberapa tahun mendatang. (4)

Kita juga bisa berbicara tentang Suku Cofán, Siona, Secoya, dan Waorani yang bermukim di wilayah Amazon utara Utara di Ekuador, serta Suku Napo-Kichwas dan beberapa keluarga Shuar yang juga tinggal di wilayah ini. Mereka semua melihat dunia mereka dihancurkan secara brutal oleh perusahaan minyak AS, Chevron Corporation (dulu bernama Chevron-Texaco). Selama 26 tahun, perusahaan tersebut mengekstraksi lebih dari 1,5 miliar barel minyak, dan membuang sejumlah besar limbah beracun ke lingkungan. (5) Sulit membayangkan betapa besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh sesuatu sebesar itu.

“Kami sangat marah ketika mereka membakar pohon, merusak tanah, dan mencemari sungai. Kami juga marah ketika wanitaperempuan, anak-anak, dan orang tua kami terus meninggal karena asap epidemi [yaitu, kematian yang disebabkan oleh invasi, khususnya epidemi]. Kami bukanlah musuh orang kulit putih. Namun, kami tidak ingin mereka datangating dan bekerja di hutan kami, karena tidak ada kompensasi yang layak kepada kami atas nilai dari apa yang mereka hancurkan di sini.” Kata-kata dari Davi Kopenawa ini sejalan dengan suara para pemimpin dari berbagai Suku yang telah bangkit untuk mempertahankan wilayah mereka.

Daftar Suku bangsa dan wilayah yang telah diserbu sangat banyak. Namun, cara bagaimana beragam dunia yang beragam ini bertabrakan beradu dengan dunia orang kulit putih selalu serupa. Inti dari konflik ini adalah perbedaan konsepsi tentang apa arti energi bagi Suku-Suku ini, dan apa artinya bagi orang kulit putih.

Energi berbeda untuk dunia yang berbeda

Antônio Bispo dos Santos, yang biasa dipanggil Nego Bispo, adalah seorang pemikir Brasil dari komunitas pedesaan quilombola. Ia berpendapat bahwa menumbangkan kata-kata penjajah merupakan strategi kontra-kolonial. (6) Itulah sebabnya ia memutuskan untuk menamai konsepsi energi masyarakat sebagai 'energi organik.' Ia menjelaskan bahwa inilah energi yang menggerakkan gerobak yang ditarik sapi yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kota. Baginya, "Segala sesuatu yang dapat diakses oleh semua makhluk hidup adalah organik. Apa yang tidak dapat mereka akses sepenuhnya adalah komoditas, baik beracun maupun tidak." (7) Energi organik menghargai kehidupan dan budaya yang berbeda dan secara langsung terkait dengan alam dan lingkungannya.

Sebaliknya, Bispo menyatakan bahwa energi penjajah adalah 'energi sintetis.' Ia telah mengamati neo-kolonialisme dari 'transisi energi' yang telah datang ke komunitasnya, dengan ladang angin raksasa dan panel surya yang telah mengusir semua makhluk hidup. Ia mengatakan "angin dan matahari diambil dan diubah secara sintetis menjadi energi listrik". Menurut Bispo, penjajah selalu berusaha mengubah segala sesuatu menjadi sesuatu yang 'sintetis'; artinya, mereka selalu ingin menyeragamkan berbagai hal, sehingga semuanya sama. Menurut Bispo, penjajah melakukan ini karena mereka tidak tahan dengan adanya keragaman pandangan dunia atau pandangan kosmo; mereka adalah 'orang yang takut akan kosmo,' katanya.

Memikirkan tentang 'organik' versus 'sintetis,' seperti yang diusulkan Nego Bispo, membantu kita untuk lebih memahami perbedaan antara dunia-dunia ini dan berbagai energi yang menggerakkannya. Menurut pandangan dunia masyarakat kapitalis industri, manusia bersifat universal – artinya, semuanya sama – seperti halnya 'energi sintetis' kaum kapitalis. Dan hak asasi manusia, yang diciptakan oleh orang kulit putih untuk memecahkan masalah yang mereka sebabkan sendiri, menjamin hak seluruh 'manusia' untuk berkembang seperti mereka. Namun, kaum kapitalis industri tidak memperhitungkan bahwa ada orang lain, dengan pandangan dunia lain, yang mungkin tidak ingin menjadi seperti mereka. Memang, masyarakat ini memandang negatif cara hidup 'maju' masyarakat industri ini, yang berhasrat mengumpulkan barang dan sama sekali terputus dari alam.

Pada kenyataannya, ketika negara-negara industri kaya membawa apa yang mereka sebut 'pembangunan' kepada masyarakat lain, mereka selalu melakukannya untuk mengeksploitasi sumber daya mereka dan semakin memperkaya mereka yang sudah kaya. Mereka merampas kekayaan sejati masyarakat lain ini – wilayah mereka dan alam. Dan mereka 'memasukkan' masyarakat ini ke dalam 'kemanusiaan universal' ini – tetapi dalam kondisi kemiskinan. Orang dianggap miskin jika mereka tidak memiliki sepatu, rumah dari batu bata, makanan kaleng, energi, dan sebagainya. Semua kekurangan ini, sebagai suatu peraturan, adalah hal-hal yang harus dibeli dengan uang. Dengan kata lain, 'pembangunan' ini tidak lebih dari 'kolonialisme' (yang diklaim) baik. Dan 'energi' juga merupakan bagian dari 'paket peradaban' yang digunakan masyarakat kapitalis industri untuk 'memasukkan' masyarakat lain.

Tetapi tidak semua orang tentu membutuhkan 'energi sintetis' ini dalam jumlah yang sama. Seperti yang dikatakan Davi Kopenawa: "Bagi kami, sedikit yang kami miliki sudah cukup. Kami tidak ingin mengambil mineral dari bumi; kami ingin hutan selalu menjadi tempat yang tenang, dan langit tetap cerah sehingga kami dapat melihat bintang-bintang saat malam tiba." (8)

Seperti masyarakat Yanomami yang merupakan bagian dari Kopenawa, banyak dari masyarakat ini hidup dengan baik dengan gaya hidup yang ditawarkan oleh 'energi organik', menggunakan istilah yang dicetuskan oleh Nego Bispo. Mereka terbiasa memiliki barang-barang yang dapat mereka buat sendiri, yang tidak perlu mereka bayar. Mereka terbiasa melakukan apa yang benar selama musim hujan dan apa yang benar selama musim panas – bekerja dengan ritme alam, dan menghasilkan cukup banyak untuk memiliki kehidupan yang sehat tanpa banyak barang material. Beberapa desa bahkan mengembangkan sistem untuk menghasilkan 'energi organik' dengan apa yang ada di sekitar mereka, dengan apa yang disediakan oleh alam. Mereka mengembangkan sistem biofuel, atau kincir angin kecil yang ditenagai oleh kekuatan sungai atau angin, di antara cara-cara lain untuk menghasilkan 'energi' dengan otonomi dan martabat.

Dan, pada kenyataannya, banyak dari orang-orang ini akan menggambarkan orang kulit putih dengan rasa kasihan. Lampu dan gawai teknologi yang dipamerkan oleh banyak orang kulit putih sebagai piala tidak menimbulkan rasa iri di antara semua orang, terlepas dari apa yang mungkin mereka pikirkan.

Dengan suaranya yang kuat yang bergema dari bagian terdalam hutan hujan Amazon, Kopenawa berbicara sedikit tentang masalah ini, dan banyak orang lain pasti akan setuju dengannya: "Tetapi orang kulit putih sangat berbeda dari kita. Mereka pasti berpikir bahwa mereka sangat pintar karena mereka tahu cara membuat banyak hal dan mereka melakukannya tanpa henti." Dan dia melanjutkan: "Mereka selalu fokus pada objek mereka. Mereka tidak berhenti memproduksinya dan mereka selalu menginginkan hal-hal baru. Oleh karena itu, mereka pasti tidak secerdas yang mereka kira." (9)

Dari desanya, pemimpin Mbyá Guaraní, Jerá Guarani, melakukan provokasi kepada masyarakat di negara-negara maju, dan mengajak orang kulit putih yang menyebut diri mereka 'beradab' untuk "menjadi biadab, menjadi orang-orang yang tidak beradab. Karena semua hal buruk yang terjadi di planet Bumi adalah hasil kerja orang-orang beradab – orang-orang yang, secara teori, bukanlah orang biadab." (10)

Solusi tidak bisa datang dari masalah

Sejak ditemukannya konsep energi hingga saat ini, banyak bahan bakar fosil yang dibakar untuk menghasilkan energi. Penggunaan bahan bakar secara berlebihan dianggap sebagai penyebab utama kekacauan iklim yang kita alami. Namun, gagasan bahwa akses universal terhadap 'energi' - jenis sintetis - adalah hal yang baik dan hak asasi manusia membebaskan 'energi' dari semua tanggung jawab atas skenario apokaliptik yang kita hadapi ini. Energi jenis ini tidak hanya tidak dianggap sebagai penyebab, tetapi juga menjadi yang terdepan dalam semua solusi yang seharusnya untuk krisis iklim (yang dipromosikan oleh pencemar terbesar): 'transisi energi', 'energi bersih', 'energi hijau', 'efisiensi energi', dan masih banyak lagi. Dan ini seharusnya menjadi perhatian kita, karena 'solusi' ini merupakan bagian besar dari masalah.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa, dengan mengganti bahan bakar fosil dengan 'energi hijau' dan menerapkan 'transisi energi' yang banyak digembar-gemborkan, akan ada waktu untuk menghentikan pemanasan global. Namun, mereka salah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan energi 'bersih' tidak menyebabkan pengurangan signifikan dalam penggunaan bahan bakar fosil, tetapi justru sebaliknya. (11) (12) Data menunjukkan bahwa – terlepas dari semua perjanjian iklim – pemerintah, bank, dan investor institusional terus menginvestasikan miliaran dolar dalam pengembangan bahan bakar fosil, dan bahwa sektor ini akan tumbuh secara eksponensial hingga tahun 2050. (13)

Lebih jauh lagi, untuk menghasilkan apa yang disebut 'energi hijau' ini, diperlukan pengorbanan wilayah banyak orang yang tinggal di hutan, di tepi sungai, dan sabana, di antara tempat-tempat lainnya. Wilayah-wilayah ini mengandung endapan litium untuk memproduksi baterai mobil listrik, kayu balsa untuk memproduksi turbin angin, dan wilayah yang sangat luas yang ditebangi dan diubah menjadi monokultur biofuel – untuk menyebutkan beberapa contoh saja. Secara umum, dasar dari 'energi hijau' ini terletak pada penghancuran wilayah-wilayah di belahan bumi selatan untuk memasok energi ke belahan bumi utara. Dan kehancuran ini mengintensifkan pemanasan global. (14)

Dalam konteks ini, beberapa pihak mungkin menyarankan peningkatan 'efisiensi energi' sebagai solusinya – yaitu, menggunakan produk yang mengonsumsi lebih sedikit energi. Secara teori, hal ini seharusnya dapat mengurangi permintaan energi secara keseluruhan. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi ini biasanya menyebabkan peningkatan konsumsi energi secara keseluruhan, karena produksi, konsumsi, dan perluasan infrastruktur yang didorong oleh teknologi tersebut. Salah satu contohnya adalah bagaimana permintaan energi meningkat lebih cepat di sektor-sektor dengan peningkatan efisiensi tertinggi: transportasi dan konsumsi energi rumah tangga. (15)

Akar persoalan krisis iklim yang kita alami tidak terletak pada jaringan energi, tetapi pada logika 'energi' dan penggunaannya untuk menguntungkan para elit masyarakat kapitalis industri. 'Energi sintetis' tidak hanya menggerakkan mesin-mesin masyarakat ini, tetapi juga merupakan dasar bagi pandangan dunia 'orang-orang masyarakat komoditas' ini. Dan hal ini telah memberikan kolonialisme penyamaran yang bagus untuk disembunyikan: gagasan bahwa energi adalah 'hak' yang universal dan tidak perlu dipertanyakan.

Untuk mengusulkan solusi serius terhadap krisis iklim, kita harus mempertanyakan gagasan tentang 'energi' itu sendiri. Ada banyak orang dengan pandangan dunia yang berbeda, yang selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa cara lain mungkin dilakukan. Kita harus mendukung perjuangan sehari-hari masyarakat terhadap semua proyek 'energi' yang merusak – baik itu proyek bahan bakar fosil maupun 'hijau'. Lebih jauh, kita harus meningkatkan pencarian sumber 'energi organik' yang memperkuat otonomi masyarakat.

Sekretariat Internasional WRM

(1) Membakar sinar matahari yang terkubur: konsumsi energi surya kuno oleh manusia 

(2) Pertukaran yang tidak setara dan menyimpang antara Nigeria dan kekuatan korporat kolonialis: dari bahan bakar fosil hingga perkebunan kelapa sawit industri dan REDD

(3) Sexy Killers (film lengkap)

(4) Nigeria bergerak untuk memulai kembali produksi minyak di wilayah yang rentan setelah Shell menjual sebagian besar bisnisnya

(5) Hutan yang terkena minyak – kasus Ekuador

(6) Komunitas Quilombola adalah komunitas kulit hitam yang terdiri dari kelompok etnis-ras, dengan identitas budaya mereka sendiri dan lintasan sejarah tertentu yang berasal dari perlawanan mereka terhadap perbudakan dan penindasan. 

(7) A terra dá, a terra quer (Buku dalam bahasa Portugis, tanpa terjemahan bahasa Inggris)

(8) A queda do céu - palavras de um xamã Yanomami, Davi Kopenawa e Bruce Albert (p. 356)

(9) A queda do céu - palavras de um xamã Yanomami, Davi Kopenawa e Bruce Albert (p. 418)

(10) Tornar-se selvagem

(11) Optimisme Teknologi Tidak Akan Menyelamatkan Hari IniTechno-Optimism Won’t Save the Day

(12) "Semakin Banyak dan Lebih BanyakMore and More and More", Jean-Baptiste Fressoz

(13) “Siapa yang mendanai perluasan bahan bakar fosilWho is funding fóssil fuel expansion?”

(14) Ajang perminyakan dunia dan jalan menuju masyarakat pasca-perminyakan WRM Boletín 196

(15)  Alternatif Energi: Survei Wilayah

Seluruh pembahasan tentang konsep energi dalam artikel ini terinspirasi oleh dan didasarkan pada berbagai teks dan penelitian oleh The Corner House dan para kolaboratornya. Di bawah ini, kami mencantumkan beberapa sumber daya ini referensi bagi mereka yang tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang subjek ini:

- Iklim kulit putih, energi kulit putih: saatnya untuk refleksi gerakan?

- Alternatif Energi: Survei Wilayah

- Energy, Work and FinanceEnergi, Pekerjaan, dan Keuangan

- Keamanan Energi Untuk Siapa? Untuk Apa? 

- Panas, Waktu, dan Kolonialisme