(Bahasa Indonesia) Mendorong “Netral Karbon” : Proyek Restorasi dan Konservasi Perusahaan Multinasional Shell di Indonesia

Perusahaan minyak dan gas multinasional Shell mengklaim bahwa sangat mungkin untuk mendorong kebijakan ‘netral karbon’, toh pengurangan emisi pun cukup dilakukan dengan menanam pohon atau berinvestasi di kawasan hutan di belahan dunia lainnya. Akan tetapi pohon-pohon tersebut diharapkan tetap berdiri tegak untuk selamanya , dan sialnya, tepat di sini, letak permasalahnnya.

Menurut beberapa perusahaan seperti perusahaan minyak multinasional Shell dan perusahaan penerbangan KLM, sangat mungkin untuk mendorong kebijakan ‘Netral Karbon’ ; toh pengurangan emisi pun cukup dilakukan dengan menanam pohon atau berinvestasi di kawasan hutan di belahan dunia lainnya. Namun, yang sering kali abai untuk dibicarakan adalah bahwa pohon-pohon tersebut harus tetap berdiri tegak agar kompensasi terwujud, paling tidak selama usia hidup pohon-pohon tersebut. Dan sialnya, tepat di sini, titik permasalahnnya.

Sejak 2019, Shell menawarkan konsumennya opsi ‘Netral Karbon’. Siapa pun yang memilih untuk membayar extra tiap liter bensin atau solar atau mengisi bahan bakar dengan merek V-power yang sedikit lebih mahal, sedang berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon. Shell menggunakan dana extra untuk menanam pohon dan berinvestasi dalam cadangan hutan yang masih tersisa. Di dalam websitenya, tercatat lebih dari 20.000 emisi mobil telah dikompensasi melalui cara ini atau setara dengan 55 Juta bensin. Untuk mengkompensasi hal tersebut, menurut Shell, 376.000 pohon harus ditanam dan dilindungi, serta dipastikan tetap hidup selamanya.

Melihat Shell Bekerja

Di antara entitas binis lainnya, Perusahaan minyak lah yang membeli kredit karbon (CO2) dari proyek restorasi dan konservasi lahan gambut Katingan (Dikenal dengan Proyek Katingan Mentaya) di Kalimantan tengah, sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Borneo. Meskipun skema kompensasi terkait hutan terbesar dalam 15 tahun terakhir belakangan dikenal dengan istilah REDD+, di Indonesia mereka menggunakan istilah Proyek Restorasi ekosistem atau Proyek Konservasi dan Restorasi. Meskipun demikian, logika dan tujuan programnya sangat mirip dengan REDD+ ; membiarkan ekstraksi dan pembakaran bahan bakar fosil terus berlanjut.

Katingan Mentaya adalah proyek kompensasi hutan terbesar di dunia, begitu klaim yang mereka sebutkan di dalam websitenya. Proyek ini dimulai pada tahun 2007 oleh Perusahaan Indonesia PT. Rimba Makmur Utama berkolaborasi dengan Permian Global, entitas pengembang dari British, dan dua LSM lainnya: Puter Indonesia Foundation dan Wetlands International Direktur utama dari perusahaan tersebut adalah mantan bankir di New York, JP Morgan, Dharsono Hartono, yang setelah mengetahui bahwa konservasi dan keuntungan bisa berjalan beriringan, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kementerian Kehutanan menyetujui Konsesi Restorasi Ekosistem pada Oktober 2013 dengan luasan area mencapai 100.000 Ha ; hampir setengah dari jumlah yang diusulkan oleh perusahaan. Tiga tahun kemudian, Departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetujui usulan konsesi kedua yang mencakup area seluas 50.000 Ha.

Cadangan ini melingkupi total 157.722 Ha Hutan Tropis dan tanah gambut. Pengembang berpendapat bahwa tanpa projek tersebut, wilayah tersebut terancam akan dikonversi menjadi industri perkebunan akasia untuk produksi kertas. Kredit karbon telah dijual sejak 2017 dibanderol dengan harga lima hingga 10 dolar per-ton, dan oleh sebab itu areal cadangan tersebut dapat menghasilkan hingga 75 juta dollar per tahun dengan cara ‘mencegah pelepasan’ CO2 ke udara.

‘Mencegah’, bagaimanapun, tidak bermakna bahwa jumlah keseluruhan CO2 di atmosfir akan berkurang. Kredit karbon tersebut dijual sebagai ‘lisensi’ untuk melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang serupa di belahan dunia lainnya. Tidak ada yang dapat disebut sebagai keuntungan iklim di sini, tetapi di atas kertas, juga tidak ada yang dirugikan dari proyek tersebut. Oleh karena itulah, Ia disebut dengan istilah ‘Netral Karbon’.

Teorinya menyatakan bahwa jika anda dapat memastikan jumlah CO2 yang dilepaskan selama berkendara, dapat dihilangkan dari udara di tempat lain, maka polusi tersebut akan dikompensasi. Namun, ini hanya dapat dihitung kalau ada bukti bahwa pohon yang ditanam -yang mengeluarkan CO2-, tidak akan pernah ditanam tanpa hadirnya proyek kompensasi ini. Jika tidak ada bukti, maka kompensasi tidak menjadi “tambahan (nilai tambah)”. Saat ini, bila kompensasi didasarkan pada perlindungan terhadap hutan dan tanah gambut yang tersisa, seperti pada kawasan cadangan Katingan Mentaya, situasinya malah akan menjadi semakin rumit. Bagaimana pengembang proyek dapat memastikan bahwa hutan yang mereka lindungi akan ditebang?

Jawabannya tentu saja tidak ada yang pasti. Para pengembang mengandalkan riwayat risiko dan model-model masa depan. Mereka memperkirakan kemungkinan deforestasi di masa depan dengan melihat area lainnya yang serupa. Inilah yang disebut sebagi rona awal (baseline). Berangkat dari sini, mereka menghitung jumlah CO2 yang ‘disimpan’ di dalam wilayah proyek yang kemudian dikonversi menjadi kredit karbon yang dapat dijual. Setiap kredit mewakili satu ton "emisi CO2 yang dicegah". Namun, tentu saja, semakin banyak deforestasi yang mereka prediksi di baselines, semakin besar keuntungan CO2 yang bisa mereka klaim dan semakin banyak pula kredit yang bisa mereka jual.

Lima tahun lalu, Lembaga penelitian Prancis, Chaire Economie du Climat menyimpulkan bahwa 26 persen dari 410 projek REDD+ yang dianalisis , tumpang tinding dengan kawasan lindung atau taman nasional. REDD+ hanya berfungsi sebagai stempel untuk mendapatkan pembiayaan baru.

Selain itu, kritik utama lainnya terhadap REDD+ adalah bahwa hutan lindung rentan dan dapat musnah kareka kebakaran, pembalakan liar atau persebaran penyakit. Proyek kompensasi ini harus menjamin bahwa hutan akan bertahan seumur hidup.

Meskipun demikian, industri minyak dan penerbangan merangkul erat-erat proyek REDD+, terutama di bawah naungan ‘pasar karbon sukarela’. Pasar ini tidak hanya melayani pelanggan yang ingin mengubah gaya hidupnya dalam hal penggunaan bahan bakar dan penerbangan, tapi juga untuk memfasilitasi semakin banyaknya perusahaan yang sedang ingin ‘terlihat’ berbuat sesuatu untuk memitigasi polusi skala besar yang mereka ciptakan, sehingga pasar ini tidak lain tidak bukan, ditujukan semata untuk menyenangkan klien dan investor mereka .

Selain Shell, perusahaan mobil Volkswagen dan bank BNP Paribas juga membeli kredit karbon dari cadangan yang sama di Kalimantan. Di seluruh dunia, dari Kamboja hingga Peru dan dari Zimbabwe ke Guatemala, sekarang ada ratusan proyek serupa itu.

Dari Karbon Menjelma Asap

2019 adalah tahun ekstrim kebakaran hutan di Indonesia, yang berkaitan erat dengan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Gelombang kebakaran yang terjadi antara Juli dan Oktober tersebut mengubah sebagian besar Sumatera dan Kalimantan di daerah yang tertutup kabut asap beracun. Sekolah dan rumah sakit tutup sementara waktu, penduduk setempat berjalan dengan menggunakan masker wajah, puluhan ribu orang dievakuasi dan sepuluh orang meninggal.

Kebakaran juga terjadi di areal proyek Katingan Melaya, yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit industri dari perusahaan PT Persada Era Agro Kencana. Api secara cepat menyebar di wilayah perkebunan karena kondisi tanah yang kering dan rapuh. Perusahaan ini mendapatkan konsesinya pada tahun 2013, meskipun telah ada moratorium terkait pembukaan hutan yang disepakati antara Indonesia dan Norway pada tahun 2011. Industri kelapa sawit adalah penyebab utama dari deforestasi, yang menghasilkan banyak emisi karbon dan menciptakan kekeringan di tanah gambut. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia merupakan produsen emosi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia. Diperkirakan 2.000 hektar cadangan katingan terbakar.

Pada November 2019, dua jurnalis Indonesia – Gabriel Wahyu Titiyoga dan Aqwam Fiazmi Hanifan, melakukan perjalanan ke kawasan cadangan karbon dan menyaksikan bahwa “area yang terbakar sangat besar’. Titiyoga berkata ‘Saya berjalan kurang lebih sejauh dua mil dan masih juga belum melihat ujung dari sisa kebakaran ini”. Para jurnalis ini juga menemukan puluhan bidang tanah pertanian di dalam area proyek, yang seharusnya tidak ditemukan di atas ‘kertas’. Juga banyak terdapat papan-papan kayu tertulis ‘Wilayah ini dikuasai oleh Suku Dayak’. Komunitas Dayak mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi yang layak tentang batas dari kawasan cadangan. Petak-petak individu ditandai dengan patok kayu tertulis nama mereka. Untuk menanam sayur dan padi, Masyarakat adat Dayak juga menggunakan api, tetapi dengan tata cara yang tekendali. Namun konflik tata guna lahan dan hutan di area projeck telah berlangsung bertahun-tahun.

Pada tahun 2014, Gubernur Kalimantan Tengah menjanjikan setiap keluarga Dayak mendapatkan masing-masing 5 Ha lahan pertanian. Namun, lokasi lahan-lahan tersebut konon katanya masih dipilah-pilih. Selama pemilihan umum provinsi di tahun 2017, politisi lokal juga menjanjikan hal yang sama. Orang Dayak lalu menggunakan dokumen yang berisi informasi tersebut untuk mengklaim tanah yang terlanjur dijanjikan, tetapi secara hukum mereka tidak memiliki dasar pijakan apapun.

Ada lebih dari 40.000 orang menghuni 34 desa di sekitar kawasan proyek. Lima ratus penduduk di antaranya telah dilatih sebagai pemadam kebakaran di bawah program ini. Untuk ‘menghindari cekcok’ , proyek ini menawarkan komunitas 100 Juta rupiah (atau sekitar 10.000 Dolar US) setiap tahunnya untuk proyek pelatihan dan pendidikan, yang bertujuan untuk membuat mereka mengusahakan lahannya tanpa menggunakan api maupun zat kimia. Empat desa menolak ajakan tersebut, dengan dalih uang yang tersedia tidaklah cukup.

Namun, bagaimana mungkin para poros penggerak utara global tetap mendorong kebijakan ‘Netral Karbon’ ketika bagian dari cadangan kompensasi juga ikut terbakar? Menurut perusahaan sertifikasi AS Verra, yang mengeluarkan label Standar Karbon Terverifikasi (VCS) dan mengawasi jalannya perdagangan karbon dari proyek ini, bahkan jikapun seluruh cadangan hutan habis terbakar, pelanggan Shell dapat terus mendorong ‘Netral Iklim’. Setiap cadangan kompensasi menahan persentase kredit di dalam "pot darurat" untuk kredit yang hilang di tempat lain. "Ini seperti asuransi risiko," kata Naomi Swickard, kepala pengembangan pasar di Verra. Artinya bahwa jumlah CO2 yang hilang dari proyek kompensasi di Indonesia pada gilirannya akan dikompensasi melalui sistem asuransi dengan kredit dari hutan di belahan dunia lainnya.

Sebagai akibatnya, kawasan Katingan Mentaya, yang secara teori memiliki karbon yang jumlahnya setara dengan karbon yang dilepaskan oleh mobil-mobil di Utara global, tetap menghadapi ancaman kebakaran hutan, perkebunan kelapa sawit besar dan tumpang tindih perizinan. Meskipun demikian, kredit karbon akan tetap dijual, dan perusahaan produsen polusi tetap dapat meyakinkan konsumen bahwa emisi mereka akan dikompensasi. Pohon-pohon itu hanya perlu tetap berdiri selamanya.

Proyek-proyek kompensasi hutan pada umumnya cendrung menyalahkan masyarakat hutan dan aktivitas pertanian sebagai penyebab deforestasi, sembari lupa mengatasai ‘penyebab politik dan ekonomi yang mendasari deforestasi, dan juga tekanan-tekanan terhadap hutan dan lahan.

Pemerintah Indonesia berencana untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030, dengan upaya sendiri - sambil mengklaim dapat mencapai 41 persen dengan bantuan internasional. Kebakaran 2019 diprediksi mengurangi target itu menjadi sekitar 20 persen. “Kami masih memiliki banyak pekerjaan hingga tahun 2030. Presiden telah memerintahkan agar tidak ada lagi kebakaran hutan tahun depan [2020]”, kata Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup. Dan dalam hal pemerintah membutuhkan cadangan karbon tambahan untuk target pengurangan nasionalnya, stok dari perusahaan-perusahaan di pasar karbon dapat ditarik atau dihentikan untuk mencegah mereka dijual. Kondisi ini, menurut Ruandha, adalah bagian dari kontrak perusahaan.

Sejak 2007, tahun di mana REDD + dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfer malah meningkat. Pemerintah dan perusahaan membangga-banggkan proyek REDD + mereka sebagai langkah pertama dalam “aksi” mitigasi iklim . Namun, dalam praktiknya, industri justru mendapatkan lisensi untuk terus mengekstraksi minyak, memperluas perkebunan sembari melakukan deforestasi, dan konsumen? Mereka tetap dapat mengendarai mobil dan naik pesawat tanpa harus memikirkan apapun. Proyek kompensasi (Hutan) bukan solusi untuk perubahan iklim karena emisi harus dikurangi secara drastis pada sumbernya dan tidak hanya sekedar dikompensasi.

Artikel ini adalah ringkasan dari artikel jurnalistik berikut:
• De Groene Amsterdammer, Het klimaatbos gaat in rok op, December 2019
• Trouw, Het CO2-compensatiebos van Shell: brandstichting en ruzie met de lokale bevolking, December 2019
• Investico, Branden en boeren bedreigen Shell-Klimaatbos in Indonesië, December 2019
• Gabriel Wahyu Titiyoga’s article, The Carbon Center’s Staggered Walk, published in the Tempo Magazine (in English)
• REDD-Monitor’s article, Indonesia’s Katingan REDD Project sells carbon credits to Shell. But that doesn't mean that the forest is protected. It is threatened by land conflicts, fires and palm oil plantations, December 2019 (in English)
• Video reportage by Indonesian media, Narasi Newsroom (in Bahasa):