Merebut Kembali Kedaulatan Energi dan Pangan Melalui Agroekologi

Kedaulatan pangan tidak dapat dicapai tanpa kedaulatan energi. Visi kami tentang energi adalah energy yang selaras dengan ritme alam, menghargai kearifan para tetua, dan memulihkan keseimbangan antara Bumi dan Manusia. Karena dalam kosmologi tradisional Afrika, energi tidak terpisah dari kehidupan. Era bahan bakar fosil merusak keseimbangan ini, mengasingkan energi dari etika, dan mengubahnya menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Dalam upaya global untuk mendekarbonisasi ekonomi, energi telah menjadi batas area baru untuk transformasi. Namun, wacana seputar 'transisi energi' masih bersifat teknokratis dan reduksionis—berfokus pada jaringan, pasar, dan kilowatt-jam—alih-alih berakar pada keadilan, manusia, dan ruang hidup. Di Alliance for Food Sovereignty in Africa (Aliansi untuk Kedaulatan Pangan di Afrika/ (AFSA), kami meyakini bahwa energi, seperti makananpangan, adalah tentang kedaulatan. Energi bukan hanya tentang infrastruktur penawaran dan permintaan. Ini tentang kekuatankekuasaan.

Kekuasaan dalam arti harfiah—siapa yang menciptakannyamenghasilkan, siapa yang mengendalikannya, siapa yang diuntungkan darinya—tetapi juga kekuasaan secara politispolitik: siapa yang memutuskan, siapa yang diikutsertakan, dan pengetahuan serta kebutuhan siapa yang menentukan sistem nyatersebut.

Kita telah lama memajukan mendorong agroekologi sebagai jalan untuk merebut kembali kedaulatan pangan di benua ini. Namun, kita semakin menyadari bahwa kedaulatan pangan tidak dapat dicapai tanpa kedaulatan energi. Energi bukan sekadar layanan pendukung pertanian—melainkan merupakan jalur penyelamat. Tanpa akses ke energi yang terjangkau, handal, dan dikendalikan masyarakat, petani tidak dapat mengairi tanaman, menyimpan makanan, menggiling biji-bijian, atau mengeringkan hasil bumi. Para perempuan harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar alih-alih berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Kaum muda terusir dari daerah pedesaan karena kurangnya kesempatan. Agroekologi tidak dapat berkembang dalam kegelapan.

Agroekologi, istilah yanng kita definisikan dan promosikan, bukan sekadar perangkat teknis untuk pertanian berkelanjutan. Agroekologi merupakan proyek politik transformatif yang berakar pada prinsip-prinsip otonomi, kesetaraankeadilan, keanekaragaman hayati, integritas budaya, dan harmoni ekologi. Agroekologi menantang kendali perusahaan atas sistem pangan dan menegaskan hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri. Ini adalah pergeseran paradigma dari ekstraksi ke regenerasi, dari eksploitasi ke kerjasama.

Visi ini harus diperluas ke sistem energi yang mendukung produksi pangan dan mata pencahariankehidupan pedesaan. Seringkali, model akses energi yang dominan di Afrika meniru dinamika ekstraktif yang ingin dibongkar oleh agroekologi. Bendungan pembangkit listrik tenaga air skala besar membanjiri lahan pertanian dan menggusur penduduk. Hal ini lah yang ingin dihapuskan dengan agroekologi.

Proyek bahan bakar fosil mencemari air, merusak ekosistem, menghancurkan mata pencaharian masyarakat, dan memperkaya kaum elit. Proyek energi yang disebut "hijau", seperti ladang surya milik asing atau tambang litium dan nikel untuk produksi baterai, justru menggusur masyarakat dengan keuntungan yang berpusat di tangan yang berkuasa.

Seperti apakah kedaulatan energi agroekologis yang sesungguhnya?

Pertama, kedaulatan energi semestinya berpusat pada masyarakat, bukan dengan memprioritaskan proyek energi yang berorientasi ekspor atau mega-infrastruktur yang mengabaikan masyarakat pedesaan. Kedaulatan energi idealnya berfokus pada solusi yang terdesentralisasi, berskala kecil, dan dikelola masyarakat. Sama seperti agroekologi yang mengutamakan sistem pangan lokal daripada rantai pasokan global, kedaulatan energi mengutamakan jaringan lokal bukannya jaringan pipa transnasional.

Kedua, kedaulatan energi bersifat demokratis. Keputusan tentang energi tidak boleh dibuat di ruang rapat perusahaan atau modal para pendonor, tetapi di majelis masyarakat, serikat petani, dan koperasi. Infrastruktur energi harus dimiliki dan diatur secara kolektif, dengan memastikan bahwa manfaatnya mengalir kepada mereka yang paling membutuhkannya.

Ketiga, sistem energi agroekologi akan bersifat regeneratif. Keputusan tentang energi tidak boleh dibuat dalam ruang-ruang pertemuan korporasi ataupun pusat-pusat donor, melainkan dalam ruang milik komunitas, serikat petani, dan koperasi. Infrastruktur energi harus dimiliki dan diatur secara kolektif, memastikan manfaatnya mengalir kepada mereka yang membutuhkan. 

Ketiga, kedaulatan energi harus bersifat regeneratif. Alih-alih mencemari dan menguras alam, sistem energi agroekologi akan selaras dengan alam. Teknologi surya, angin, biogas, dan mikrohidro digunakan dengan cara yang memulihkan bentang alam, mengurangi emisi, dan memperkuat ketahanan.

Di seluruh Afrika, visi ini sedang diwujudkan. Di Uganda, koperasi petani memberi dayamenggunakan jaringan listrik mini surya untuk menjalankan pada penggilingan gandum dengan jaringan listrik mini surya. Di Kenya, kelompok perempuan menggunakan pengering surya untuk mengawetkan buah dan sayuran agar lebih awet. Di Ethiopia, masyarakat menguji coba sistem mikrohidro untuk mengaliri listrik ke sekolah-sekolah dan pusat kesehatan di pedesaan. Di Ghana, inisiatif yang dijalankan oleh pemuda mengubah limbah pertanian menjadi biogas untuk memasak. Inisiatif ini lebih dari sekadar eksperimen teknologi, ini adalah tindakan reklamasi politik untuk merebut kembali hak. Inisiatif ini mewujudkan semangat agroekologi: berakar di pada tempat masyarakat tinggal masyarakat, dipimpin oleh masyarakat, dan berorientasi pada keadilan.

Namun, hambatannya tetap menakutkanmasih sangat besar. Pihak pendanaan terus mendukungmasih lebih memprioritaskan infrastruktur skala besar daripada sistem berbasis masyarakat. Kebijakan dirancang untuk investor korporat, bukan inovator lokal. Aktor Para pegiat masyarakat sipil yang bekerja di bidang pangan dan energi sering kali beroperasi bekerja secara terpisah, sehingga kehilangan kesempatan untuk melakukan tindakan terpadu dan kolaboratif.

Untuk menanggulangi hambatan ini, AFSA tengah membangun kampanye pan-Afrika untuk kedaulatan energi, yang terkait terhubung dengan gerakan agroekologi kami yang lebih luas. Kami menyerukan kepada pemerintah untuk mengintegrasikan perencanaan pangan dan energi. Kami mendesak para donor untuk mengalihkan pembiayaan dari proyek ekstraktif yang dipimpin perusahaan ke model yang dipimpin masyarakat. Kami juga melibatkan para pembuat kebijakan untuk mengadopsi kerangka regulasi yang mendukung kepemilikan kolektif dan tata kelola partisipatif. Kami memobilisasi petani, perempuan, dan pemuda untuk berbagi pengetahuan, membangun solidaritas, dan melipatgandakan praktik transformatif.

Visi kami bukan sekadar teknis; visi kami membangun peradaban. Kami tidak sekadar mencari gawai energi yang lebih baik, tetapi juga cara hidup yang lebih baik. Cara hidup yang selaras dengan ritme alam, menghargai kebijaksanaan para tetua, mengangkat memberdayakanperan masyarakat, dan memulihkan keseimbangan antara Bumi dan manusia. 

Dalam kosmologi tradisional Afrika, energi tidak terpisah dari kehidupan. Energi mengalir melalui tanah, matahari, angin, dan manusia. Api dibagiadalah milik bersama. Air bersifat sakral. Cahaya bersifat komunal. Era bahan bakar fosil merusak keseimbangan ini, memutus energi dari etika, dan mengubahnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Apa yang disebut "transisi hijau" mengulang kesalahan ini karena gagal mempertanyakan logika dasar ekstraktivisme. Ladang tenaga surya yang menggusur petani bukanlah hal yang hijau. Tambang litium yang meracuni sungai tidaklah berkelanjutan. Turbin angin yang dibangun di atas tanah adat yang dicuri tidaklah adil. Jika kita ingin membangun transisi yang adil, kita harus memulainya dengan keadilan.

Agroekologi mengajarkan kita bahwa transformasi dimulai dari bawah ke atasyang paling mendasar, dengan yakni dari benih, dengan tanah, dengan dan hubungan antar sesama. Kedaulatan energi harus mengikuti jalur yang sama. Kedaulatan energi harus berakar pada kearifan masyarakat, diciptakan bersama melalui proses partisipatif, dan ditingkatkan melalui solidaritas, bukan spekulasi.

Mari kita bayangkan sebuah benua di mana setiap desa memiliki kedaulatan untuk menerangi rumah-rumahnya, menyalakan sekolah-sekolahnya, dan menjalankan penggilingan gandumnya, bukan melalui ketergantungan, tetapi melalui martabat. Mari kita membangun aliansi antara gerakan kedaulatan pangan dan demokrasi energi. Mari kita singkirkan apa yang memecah belah kita dan rangkul visi holistik yang dipraktikkan oleh para leluhur kita dan yang layak diterima oleh anak-anak kita.

Ini bukan mimpi, ini sedang terjadi. Benih-benihnya telah ditanam. Sekaranglah saatnya untuk menyirami benih-benih ini, mengawalnya menyuburkannya dengan kebijakan, pendanaan, dan solidaritas. Dari tanah hingga tenaga surya, dari pertanian hingga api, dari benih hingga sistem, satu perjuangan untuk kedaulatan. Mari kita rebut kembali bersama-sama.

Oleh Dr. Million Belay, Aliansi untuk Kedaulatan Pangan di Afrika (AFSA)

Panama: Perjuangan Komunitas Caisán: untuk 'sungai-sungai yang bebas' dan energi berbasis masyarakat

Komunitas kami di Caisán, di Panama, adalah bukti nyata bahwa model pembangunan hidroelektrik yang eksklusif dan dampak buruknya dapat ditentang. Melalui pengorganisasian komunitas, kami bisa menghentikan pembangunan bendungan hidroelektrik yang dipromosikan sebagai bagian dari Plan Puebla Panama – salah satu proyek pembangunan dan integrasi terbesar di Amerika Latin. Saat ini, kami terus maju dengan pembangunan model energi yang adil dan berbasis komunitas.

Dalam dua dekade terakhir, kami melihat banyak desa di Panama bagian barat dirampas tanahnya, untuk proyek besar yang disebut Plan Puebla Panama (PPP). Komunitas kami di Caisán, di provinsi Chiriquí, adalah yang pertama di negara ini yang menentang model perampasan dan akumulasi yang dipromosikan didorong oleh PPP – dan berupaya menyamarkannya sebagai energi yang 'bersih' dan 'terbarukan'.

Pada tahun 2001, pemerintah Meksiko meluncurkan PPP, yang sekarang dikenal sebagai Proyek Mesoamerika. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan seluruh wilayah Mesoamerika, menghubungkan Meksiko selatan Selatan ke Panama melalui pembangunan sistem jalan raya, interkoneksi listrik, dan telekomunikasi. Fokus utama proyek ini adalah untuk mengembangkan sumber daya energi di wilayah tersebut: minyak, gas, dan listrik. Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk menciptakan infrastruktur untuk mengangkut dan menghubungkan bahan baku, sumber daya energi, tenaga kerja murah, dan sistem komunikasi – sesuai dengan kepentingan perusahaan dan pasar di AS.

Untuk mewujudkan ini, PPP memulai pembangunan pada tahun 2006 pada salah satu proyek utamanya: Sistem Interkoneksi Listrik Amerika Tengah (SIEPAC, akronim dalam bahasa Spanyol). Kebutuhan untuk menghasilkan energi untuk memberi makanmemenuhi kebutuhan sistem ini mendorong pembangunan bendungan hidroelektrik. Kami menyaksikan bagaimana beberapa dari hampir sekitar 85 bendungan hidroelektrik yang diproyeksikan akan dibangun di Panama keluar muncul dari rencana dan mulai terwujud (1). Ada begitu banyak dampak di komunitas kami akibat dari 'pembangunan' ini – yang dikemas sebagai proyek 'berkelanjutan.'

Caisán terletak di provinsi Chiriquí, dekat Sungai Chiriquí Viejo – yang merupakan salah satu cekungan sungai utama Panama dan elemen kunci dalam proyek hidroelektrik negara tersebut. Saat itu, logika merkantilisme diterapkan pada kebijakan energi Panama. Privatisasi sistem kelistrikan berarti bahwa air diperlakukan sebagai komoditas, bukan sebagai hak sosial.

Di atas meja mereka, pemerintah memformalkan kontrak air permanen yang memberikan hak kepada perusahaan hidroelektrik nasional dan transnasional untuk mengakses hampir semua kapasitas air sungai kami. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki dukungan jaminan hukum untuk menggunakan dan mengalihkan hingga 90% aliran sungai.

Semua perusahaan mengklaim bahwa proyek hidroelektrik mereka tidak akan mengakibatkan dampak negatif yang besar. Namun, tidak satupun entitas – pemerintah, entitas keuangan, atau perusahaan – yang memperhitungkan kerusakan kumulatif yang serius dari semua tindakan perusahaan ini terhadap masyarakat kami dan ekosistem cekungan hidrografi Sungai Chiriquí Viejo.

Untuk membenarkan pembangunan proyek bendungan besar-besaran di satu sungai, dan di sebagian besar daerah aliran sungai penting di provinsi Chiriquí, pemerintah menggunakan istilah-istilah yang menyesatkan seperti: proyek "energi bersih", "bendungan mini", "bendungan aliran sungai", atau "bendungan air terjun".

Dalam konteks ini, masyarakat telah berupaya menolak, berdemonstrasi, meningkatkan kesadaran, dan mengantisipasi masalah yang akan timbul akibat pembangunan proyek hidroelektrik. Dan kami, anggota masyarakat Caisán, selalu berada di garis depan penolakan ini. 

Gambar
Mapa dos projetos hidrelétricos nos rios de Chiriquí. Fonte: Gutiérrez, A., González, J. (2023)
Peta proyek hidroelektrik di sungai-sungai Chiriquí. Sumber: Gutiérrez, A., González, J. (2023)

Dampak bendungan

Kami belum pernah melihat bendungan hidroelektrik di Caisán. Bahkan, ketika pertemuan pertama untuk mengorganisasi masyarakat agar menentang proyek dimulai – walau belum bisa membayangkan seperti apa bendungan hidroelektrik itu – kami sudah memiliki cukup informasi tentang dampak buruknya. Jadi, pada tahun 2007, kami mulai berkampanye di kelompok masyarakat di mana proyek pertama dimulai.

Pemerintah berpendapat bahwa jaringan energi Panama sedang beralih ke energi terbarukan, sebuah energi bersih. Namun, kami telah membicarakan hal ini dengan masyarakat, dan kami tidak setuju untuk menyebutnya "energi bersih." Karena perusahaan-perusahaan yang datang untuk memanfaatkan kekuatan sungai untuk menghasilkan listrik telah mengambil air kami. Mereka mengambilnya dan tidak membawanya kembali. Perusahaan-perusahaan ini mengubah wilayah tersebut, karena ketika mereka membendung air, mereka mengambilnya, sehingga sungai-sungai menjadi kering. Selain itu, waduk-waduk tersebut statis, penuh dengan alga, dan bahkan ada sampah yang terkumpul di dalamnya. Pohon-pohon tumbang ke sungai, lalu terseret ke waduk; dan ada banyak sedimen. Jadi sama sekali tidak memberikan kesan bersih.

Selain itu, ketika bendungan hidroelektrik pertama diresmikan di wilayah Caisán, kami melihat bagaimana area di sekeliling bendungan menjadi milik pribadi. Area yang dulunya dapat diakses dengan bebas – tempat kami biasa berenang atau memancing, atau tempat kami akan transit dan menyeberang ke wilayah lain – sekarang memiliki gerbang besar dengan tanda bertuliskan: "Properti pribadi, jangan dimasuki." Dan mereka bahkan menyewa pihak keamanan swasta.

Terlebih lagi, mereka memberi tahu kami bahwa pekerjaan akan tersedia, dan bahwa kondisi di masyarakat akan membaik. Namun kami mengamati bahwa banyak orang yang pergi bekerja jatuh sakit, dan kemudian tidak dipekerjakan untuk waktu yang lama. Selain itu, banyak orang yang datang dari tempat lain untuk membangun bendungan yang membawa serta sifat buruk mereka; dan untuk pertama kalinya di Caisán, ada rumah bordiltempat pelacura dan muncul banyak masalah yang terkait dengan alkohol.

Seperti yang kami prediksi, beberapa pertanian dibiarkan terlantar karena sungai dan danau kering; Ladang-ladang ini akhirnya tidak memiliki air karena, selain membendung air sungai, pembangkit listrik tenaga air mengalihkan air tanah yang dulu mengalir melalui ladang-ladang tersebut.

Dulu ada ikan di sungai yang berenang dari laut dan naik ke sungai menuju gunung. Ikan-ikan itu berkembang biak di satu tempat dan hidup di tempat lain, dan mereka menggunakan sungai untuk bepergian. Namun, ikan-ikan ini sudah tidak ada lagi karena ada banyak bendungan listrik tenaga air di satu sungai.

Belum lagi fakta bahwa, setelah semua ini, sebagian besar orang di komunitas Caisán masih tidak memiliki akses ke listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga air ini.

Organisasi masyarakat

Dalam menghadapi situasi ini, kami mulai mengambil beberapa tindakan pada tahun 2007 yang bertujuan menghentikan proyek-proyek ini di Caisán. Tindakan pertama yang kami ambil adalah mencoba meminta secara diplomatis kepada kantor walikota dan pemerintah untuk menyatakan sungai tersebut sebagai warisan wilayah kotamadya regional. Selain itu, kami memobilisasi sejumlah besar orang untuk memprotes di tempat-tempat pemerintahan, untuk menekan mereka agar memenuhi tuntutan kami. Ketika kami tidak mendapat tanggapan positif dari kantor Gubernur atau kantor Walikota, kami mulai mengambil tindakan yang lebih giat. Kami mengorganisir penutupan jalan untuk mencoba menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga air. 

Perjuangan itu berlanjut selama bertahun-tahun. Ada video simbolis dari periode itu, dari tahun 2011, yang dibuat oleh organisasi lokal dari orang-orang yang terkena dampak yang berjuang melawan proyek-proyek ekstraktif ini. Nama organisasi tersebut adalah Yayasan untuk Pembangunan Terpadu Corregimiento de Cerro Punta (Fundiccep, akronim dalam bahasa Spanyol). Video ini merupakan rekaman sejarah perjuangan melawan bendungan hidroelektrik di Panama, dan berisi suara para teman-teman yang berjuang dan mempertahankan wilayah tersebut. Teman-teman ini berkata:
“Lima tahun perjuangan, lima tahun menunjukkan risiko dan ancaman, lima tahun meminta masyarakat untuk memperhatikan kerusakan sungai. Tidak ada otoritaspejabat berwenang, tidak ada wakil, tidak ada gubernur yang mendengarkan, 'karena kebisingan dan lampu' dari proyek-proyek ini dan serta manfaat ekonominya yang besar lebih kuat daripada teriakan masyarakat yang menuntut keadilan dan kesetaraan. (...) Dan meskipun kami melihat air mengalir di sungai, air itu tidak akan tersedia lagi, air itu tidak akan lagi menjadi 'milik kami.' Ini akan menjadi milik orang lain, milik seorang pengusaha yang tinggal jauh dari tempat ini, yang tidak mengerti dan tidak akan mengerti mengapa sungai menjadi bagian dari kehidupan kami."

Terakhir, pembangkit listrik tenaga air tidak menghasilkan pembangunan bagi masyarakat; mereka tidak membawa kami lebih dekat ke pada energi, atau menurunkan biaya layanan listrik. Pembangkit-pembangkit ini juga tidak meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat kami.

Namun, kami merasa sekarang, setelah bertahun-tahun, bahwa semua perjuangan itu tidak sia-sia. Karena kami berhasil membuat perusahaan tidak mudah mendapatkan pembiayaan untuk proyek mereka. Mobilisasi kami berhasil menghentikan banyak proyek listrik tenaga air yang direncanakan agar tidak terjadi di Chiriquí (sekamir 23 direncanakan, tetapi hanya 8 yang selesai). Selain itu, kami menjaga Sungai Caisán tetap bebas, karena mereka tidak memperoleh izin untuk melakukan apa pun di sana; ada banyak perlawanan.

Kami yang telah beradaselama ini tinggal di sini, menderita akibat proyek-proyek energi ini, tidak melihat ini sebagai alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil. Kami melihat transisi energi ini sama kotornya dengan bahan bakar fosil.

Di komunitas mana pun yang saat ini sedang dipengaruhi oleh transisi energi – dan transisi ini berarti eksploitasi sumber daya alam dan Ibu Pertiwi – perlu untuk menemukan alternatif yang menangkal model kapitalis ini. Model ini telah sangat tidak seimbang, dan bahkan merampas cara hidup kami.

Energi dari dan untuk masyarakat

Di komunitas, kami adalah petani, dan kami telah banyak mendengar tentang biogas. Banyak orang yang meninggalkan komunitas berbicara tentang bagaimana kotoran babi dapat digunakan untuk menghasilkan gas. Kami pun kini telah memasang beberapa biodigester di komunitas dengan dukungan Fundiccep. Orang-orang dari organisasi ini mengambil tindakanbertindak dan berjuang untuk mengecam proyek-proyek besar, serta mengusulkan proyek-proyek dan mempromosikan jenis-jenis energi baru, misalnya, dengan menawarkan saran teknis kepada masyarakat.

Biodigester pada awalnya dianggap sebagai solusi lingkungan untuk pencemaran air yang disebabkan oleh peternakan masyarakat, dan sebagai pelengkap untuk mengurangi penggunaan gas dalam tangki yang harus dibeli. Namun kemudian kami menguji penggunaannya untuk menghasilkan energi listrik juga. Kami menghubungkannya ke generator, dan menyala dengan sangat baik. Dengan kata lain, kami mampu membuat lompatan terobosan itu dan menghasilkan listrik. 

Kami telah melakukan ini dalam skala kecil, tetapi jika komunitas kami menyetujuinya, dan memiliki sekitar 20 ekor babi dan menggunakan semua kotorannya untuk menghasilkan listrik, maka akan memungkinkan untuk menghasilkan energi yang cukup untuk berbagai kebutuhan dan keperluan komunitas. Dan ini merupakan semacam proyek konstruksi yang dapat dilakukan secara kolektif.

Ketika kami memiliki biodigester dan melihat bagaimana semuanya bekerja – seperti apa tampilan di dalam wadah plastik besar ini, dengan gas metana yang mengubah materi di dalamnya, dan semua energi yang dihasilkan sebagai panas – kami, dalam praktiknya, menerapkan apa yang telah kami pelajari tentang pembangkit energi. Dan saat menjelaskan proses ini di komunitas, kami merenungkan bagaimana kami melihat energi.

Jelas, di alam semesta yang terbuka, kami mengetahui bahwa alam memberi kami berbagai alternatif energi. Kami selalu mendengar di radio, di televisi, atau di sekolah "bahwa matahari, udara, dan pergerakan laut menghasilkan energi." Namun, keadaannya berbeda ketika kami dapat mengamati dengan mata kepala sendiri bahwa kotoran ternak ini – yang sebelumnya mungkin menjadi masalah – kini dapat menjadi alternatif atau sumber energi jenis lain. Kemudian kami melihat semua ini dengan penuh kekaguman, berpikir bahwa ini sungguh cerdas, dan masyarakat dapat menjadi pemilik kecerdasan ini dan ikut berpartisipasi di dalamnya.

Kami pikir produksi energi adalah persamaan yang sangat canggih rumit, yang hampir tidak mungkin dilakukan tanpa mesin besar, perusahaan besar, atau modal besar. Mengetahui bahwa kami sendiri dapat mengubah kotoran ternak menjadi gas dalam skala kecil – atau bahwa kami dapat mengubah gas tersebut menjadi listrik untuk menggerakkan mesin, misalnya – benar-benar mengubah cara pandang kami.

Sebagai masyarakat, kami berkomitmen untuk menghasilkan energi bersih dengan apa yang kami miliki. Kami juga telah mendengar cerita tentang bagaimana masyarakat lain di dunia telah melakukan ini, dan ada solusi berbiaya sangat rendah. Yang dibutuhkan adalah tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi untuk menemukan solusi; begitu Anda memilikinya, semua hal lainnya menjadi mungkin. Bagi wilayah mana pun atau bagi orang mana pun di dunia yang mencoba mengambil tindakan hari ini – baik untuk memanfaatkan energi yang mereka miliki di lingkungan mereka, atau menggunakan jenis energi yang mereka miliki dan yang mereka lihat sebagai alternatif – penting untuk bermimpi dan bermimpi dengan sungguh-sungguh. Karena kapitalisme telah menjual kepada kami gagasan bahwa segala sesuatu memiliki harga, bahwa segala sesuatu adalah komoditas, dan itu tidak benar.


Jonathan Gonzalez, aktivis dan petani dari Caisán

Referensi

(1) Otros Mundos Chiapas, “Del PPP al Proyecto Mesoamérica”
Untuk informasi lebih lanjut:
- FUNDICCEP, “Plan de Conservación de la subcuenca del Río Caisán”  
- Gutiérrez, A., González, J., Conflictos socioambientales por represas y proyectos hidroeléctricos en Chiriquí, Panamá y la Zona Sur de Costa Rica. Anuario del Centro de Investigación dan Estudios Politicos. San José, Kosta Rika.
- McGill University, “Konflik Sosial-Lingkungan yang Disebabkan oleh Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Río Chiriquí Viejo”  
- Colección del Proyecto de Estudio Independiente, “Características químicas y fisicas de los ríos por encima y por debajo de cuatro centrales hidroeléctricas en las cuencas hidrográficas de Chiriquí Viejo y Chico, Chiriquí, Panamá” 
- Colección del Proyecto de Estudio Independiente, “Faktor-faktor yang menentukan tindakan sipil dan oposisi dari desarrollo hidroeléctrico di wilayah besar Río Chiriquí Viejo di provinsi Chiriquí, Panamá”

Ekspansi Gila-Gilaan Industri Kelapa Sawit dan Perjuangan Perlawanan Kampung Bariat di Tanah Papua

Pada suatu malam di bulan Oktober 2023, puluhan perempuan dari Kampung Bariat, sebuah desa di distrik Kondo, Kabupaten Sorong, provinsi Papua Barat, berkumpul di tengah-tengah komunitas mereka. Mereka berkumpul untuk melakukan latihan yang melibatkan berbagi dan membuat katalog tentang cara mereka memanfaatkan dan berhubungan dengan hutan; latihan ini penting sebagai tanggungjawab pemeliharaan hutan yang memberi makan dan memastikan kesehatan dan kesejahteraan keluarga dan komunitas mereka. Dengan hanya diterangi beberapa bola lampu, mereka menulis dan berbagi pengetahuan tradisional tentang tempat-tempat penting di sekitar komunitas mereka—misalnya, tempat-tempat di mana menemukan sagu, makanan pokok masyarakat; tempat-tempat untuk menanam tanaman tertentu; tempat-tempat untuk mengumpulkan tanaman obat, akar dan daun tertentu; tempat-tempat suci; dan seterusnya. Kegiatan ini adalah latihan yang menyenangkan, yang mempererat dan memperkuat hubungan para perempuan dengan wilayah mereka.

Namun latar belakang dari pelaksanaan latihan ini sama sekali tidak menyenangkan. Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia di Jakarta memutuskan untuk memberikan konsesi seluas 37.000 hektar di Sorong Selatan kepada PT Anugerah Sakti Internusa, anak perusahaan dari Indonusa Agromulia Group (1). Otoritas di Papua kemudian mengeluarkan izin untuk memungkinkan perusahaan menebang 14.467 hektar di dalam wilayah konsesi ini—yang pada saat itu merupakan 96% hutan utuh—dan menanam jutaan pohon kelapa sawit (2). Masa depan desa Kampung Bariat terancam karena konsesi tersebut tumpang tindih dengan wilayahnya. Masyarakat tidak diberi tahu, apalagi diminta pendapat atau persetujuannya atas konsesi tersebut.

Pada malam di bulan Oktober itu, para perempuan Kampung Bariat juga membicarakan tentang perusahaan tersebut. Didorong oleh kemarahan dengan situasi tersebut, mereka berkata, “Kami harus menjauhkan kelapa sawit dari tanah kami!” dan “Kami mampu menjaga wilayah kami!” Sekitar 300 perempuan dan laki-laki Kampung Bariat menjaga wilayah mereka secara turun-temurun, sejak sepuluh marga keluarga berkumpul dan menetap di daerah ini. Mereka menyebut diri mereka sebagai Tehit, kelompok masyarakat adat yang termasuk dalam Suku Afsya.

Ekspansi kelapa sawit industri di Papua dan Indonesia

Menurut data resmi, terdapat sekitar 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit industri di Indonesia—sekitar setengah dari total jumlah kelapa sawit global. Namun, Sawit Watch, sebuah LSM Indonesia yang memantau sektor kelapa sawit, memperkirakan total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendekati 25 juta hektar (3), dan memprediksi jutaan hektar tambahan di masa mendatang. Pada tahun 2023, perkebunan kelapa sawit industri bertambah seluas 116.000 hektar di Indonesia, meningkat 54% dibandingkan dengan tahun 2022 (4).

Bersama dengan pulau Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Jawa, Papua ditargetkan menjadi wilayah baru untuk ekspansi kelapa sawit besar-besaran di Indonesia dan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas dan persyaratan yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada perusahaan dan investor di negara ini. Persyaratan ini menjadi lebih fleksibel dan semakin menguntungkan, setelah difasilitasi oleh Undang-Undang omnibus law (5). Papua menjadi target banyak proyek pertambangan besar, perkebunan tebu, proyek pertanian berskala besar yang disebut ‘food estate’, dan proyek pembangkit listrik tenaga air Mamberano yang sudah berlangsung lama—yang semuanya akan menimbulkan dampak yang menghancurkan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa Papua, dengan ‘sumber daya alam’-nya yang melimpah, merupakan wilayah terakhir yang coba dikuasai oleh penjajah Belanda, namun harus menyerah karena tekanan internasional (6).

Pembenaran hukum yang digunakan pemerintah pusat di Jakarta untuk menyerahkan lahan hutan kepada perusahaan kelapa sawit dan perusahaan ekstraktif lainnya di Papua didasarkan pada Keputusan Kementerian Pertanian yang dibuat selama rezim Suharto (No. 820/1982). Keputusan tersebut menyatakan bahwa sekitar 41 juta hektar wilayah hutan di Papua adalah ‘hutan negara’. Keputusan ini merampas kekuasaan Masyarakat Adat untuk mengelola dan membuat keputusan tentang wilayah yang secara turun temurun menjadi sumber kehidupan mereka.

Ekspansi  gila-gilaan

Kolonial Belanda di masa lalu maupun pemerintah Indonesia setelahnya mengklaim sebagai “pemilik” Papua, dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat di sana. Mereka bertindak Papua seolah-olah tanah kosong dan tidak terpakai yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan kapitalis. Namun, investigasi yang dilakukan Pusaka mengungkap keberadaan 10.472 desa di Papua, yang sebagian besar dihuni oleh Masyarakat Adat; laporan tersebut menambahkan bahwa semua komunitas ini sangat bergantung pada wilayah yang lebih luas yang mereka kelola, sesuai dengan praktik, adat istiadat, dan kepercayaan mereka, dll. (7). Area konsesi terbesar untuk pengembangan kelapa sawit adalah area yang disebut proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Tujuh perusahaan menguasai area yang memiliki total luas 280.000 hektar. Proyek ini telah melanggar wilayah tempat tinggal dan tempat bergantung Suku Awyu (8).

Sebanyak 29 juta hektar perkebunan kelapa sawit industri di seluruh dunia juga bukanlah tanah “kosong” ketika diduduki untuk aktivitas ini—justru sebaliknya (9). Ada banyak sekali pengalaman yang terdokumentasi dengan menyeluruh dari masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh perusahaan kelapa sawit. Pengalaman mereka—kisah-kisah kekerasan yang mereka alami, pelecehan yang dialami perempuan, kerusakan dan pencemaran tanah dan air—sangat mirip satu sama lain. Inilah sebabnya mengapa putaran baru perluasan kelapa sawit skala besar yang menargetkan Papua adalah gagasan yang sangat gila.

Beberapa aspek umum dari kisah-kisah dan pengalaman dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia, Nigeria, Guatemala, Papua Nugini, Pantai Gading, Honduras, Brasil, Ekuador, Kamerun, dan banyak negara lainnya meliputi beberapa hal berikut ini:

- Wilayah masyarakat adat dan kulit hitam paling banyak menjadi sasaran, dengan melanggar hak teritorial dan sumber kehidupan mereka. Di tanah Papua, misalnya, perluasan kelapa sawit , dalam setiap kasus, telah menyebabkan konflik dengan masyarakat adat. Pada tahun 2018, 272.000 hektare kawasan hutan di Papua telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit industri, yang meninggalkan tidak hanya hutan yang hancur, tetapi juga hilangnya sumber kehidupan (10).

- Kelapa sawit industri tidak hanya merampas tanah tetapi juga air. Perkebunan kelapa sawit industri di Kalimantan Barat  telah merampas tanah dan air dalam jumlah besar, melebihi wilayah lain di bumi. Sebuah investigasi di sana mengungkapkan perampasan air besar-besaran, kontaminasi, dan kerusakan di seluruh rantai produksi minyak sawit—yang berdampak tidak hanya seluruh wilayah, tapi juga populasinya. Tanpa air, maka tidak ada yang bisa bertahan hidup (11).

- Minyak sawit telah menjadi minyak nabati termurah di dunia, karena eksploitasi tenaga kerja yang tiada henti terhadap orang-orang yang sebelumnya bergantung pada hutan, pertanian, dan perikanan. Keuntungan perusahaan kelapa sawit diperoleh dengan eksploitasi dan kontrol terhadap tubuh perempuan. Ketika kelapa sawit industri menyerbu wilayah masyarakat, kehidupan perempuan menjadi sangat sulit. Ketika sungai dihancurkan, misalnya, situasi ini memiliki implikasi yang dalam bagi perempuan. Akibat adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin—di mana perempuan adalah pihak yang menopang kehidupan—dampak destruktif dari kelapa sawit memperdalam penindasan terhadap perempuan. Perusahaan juga mengeksploitasi buruh perempuan di perkebunan. Prostitusi dan kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan pun merajalela (12).

- Bahkan ketika ada bukti pencemaran air atau pelanggaran hukum lainnya, perusahaan kelapa sawit menikmati pembebasan dari hukuman. Sementara itu, aktivis masyarakat menghadapi intimidasi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi, tuduhan terorisme, dan pemenjaraan ketika mereka mengatakan TIDAK kepada perkebunan kelapa sawit industri dan membela hak asasi manusia yang hidup di atas wilayah mereka.

- Sertifikat 'kontrol kualitas', seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) selama 20 tahun, telah menjadi alat greenwashing bagi industri kelapa sawit. Sertifikat ini tidak mengubah pola struktural ketidakadilan, kekerasan, dan penghancuran; dan mekanisme pengaduan internal mereka serta tidak mengubah perilaku perusahaan dalam praktik. Sertifikat ini memastikan keuntungan bagi produsen, investor, pedagang, dan perusahaan manufaktur kelapa sawit (13). Sertifikat ini turut bertanggung jawab atas berbagai penindasan yang disebabkan oleh industri ekstraktif di dunia selatan.

Saat ini, ‘biofuel’ atau ‘agrofuel’ dari minyak kelapa sawit dijual kepada publik dengan topeng ‘energi terbarukan’ dan bagian dari apa yang disebut ‘transisi energi.’ Ini adalah kebohongan terbaru yang disebarkan oleh industri kelapa sawit untuk membenarkan ekspansi besar-besarannya. Sejak tahun 2013, penelitian oleh GRAIN mengungkapkan bahwa sistem pangan yang saat ini digerakkan oleh agribisnis, di mana sektor kelapa sawit sebagai pemain kunci, bertanggung jawab atas sekitar setengah dari emisi gas rumah kaca global (14).

Perlawanan Kampung Bariat dan masyarakat lainnya

Kembali ke Kampung Bariat, pada suatu malam di bulan Oktober 2023, masyarakat berkumpul untuk menonton video dari kunjungan yang dilakukan beberapa anggota masyarakat ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta, sekitar 3.000 km jauhnya. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan penduduk desa menyampaikan kekhawatiran mereka kepada berbagai pihak berwenang di Jakarta. Yuliana Kedemes, salah satu peserta kunjungan tersebut, merangkum pesan mereka dalam sebuah wawancara: “Kami tidak bisa mengizinkan mereka [perusahaan kelapa sawit] datang ke sini, karena di mana anak cucu kami akan tinggal di masa depan?” (15)

Keesokan harinya, masyarakat menerima pejabat Kabupaten Sorong Selatan dan Distrik Kondo. Para pejabat ini disambut dalam bahasa Tehit oleh perwakilan dari sepuluh marga, yang berbagi cerita tentang bagaimana Kampung Bariat didirikan. Masyarakat memberikan kepada pihak berwenang sebuah berkas berisi dokumentasi dan peta yang menunjukkan hubungan mendalam antara masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, dengan wilayah mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka membutuhkan minimal 3.200 hektar lahan untuk memastikan kelangsungan hidup masyarakat mereka. Pihak berwenang menyatakan akan mendukung tuntutan masyarakat Kampung Bariat. Perjuangan masyarakat Kampung Bariat dan banyak masyarakat adat lainnya di Papua melawan ancaman kelapa sawit yang terus berlanjut akhirnya mendapat dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika, pada bulan April 2021, empat perusahaan kelapa sawit dicabut izinnya oleh Bupati Sorong. Pencabutan ini berdasarkan audit yang telah dimulai pada tahun 2018, yang mengidentifikasi pelanggaran hukum dan 5administratif oleh perusahaan tersebut. Izin 12 perusahaan kelapa sawit lainnya dicabut pada bulan Juni 2021 di Sorong Selatan, termasuk izin PT Anugerah Sakti Internusa, perusahaan yang konsesinya 5tumpang tindih dengan wilayah Kampung Bariat (16). Namun, PT Anugerah Sakti Internusa mengajukan gugatan ke pengadilan pada bulan Desember 2021 untuk melawan keputusan tersebut, dalam upaya untuk mendapatkan kembali izinnya.

Semakin banyak masyarakat adat di Papua yang terlibat dalam kasus-kasus di pengadilan. Dalam kasus wilayah pengembangan kelapa sawit terbesar di Papua—proyek Tanah Merah—Masyarakat Awyu memperjuangkan hak-hak mereka di pengadilan, bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Pada bulan Mei 2024, masyarakat adat Awyu dan Moi melakukan perjalanan ke Jakarta, di mana mereka mengadakan doa dan ritual serta menampilkan tarian untuk meminta Mahkamah Agung melindungi tanah mereka dari kerusakan (17).

Sebagian dari apa yang ditunjukkan oleh Masyarakat Adat di Papua kepada pemerintah pusat adalah penelantaran konsesi secara luas oleh perusahaan-perusahaan di Papua. Sebuah investigasi oleh Pusaka menunjukkan bahwa dari tahun 1988 hingga 2011 (ketika moratorium Presiden dikeluarkan untuk pembukaan hutan), hanya 125.284 hektar dari 1.162.893 hektar yang diberikan kepada 51 perusahaan kelapa sawit (10,7% dari wilayah tersebut) yang benar-benar telah dikonversi menjadi kelapa sawit. Sementara itu, sejumlah perusahaan ini telah berhenti beroperasi. Jika konsesi penebangan dan perkebunan kayu juga dimasukkan, jumlah lahan terlantar, dengan mempertimbangkan konsesi yang diberikan selama kurun waktu 1988-2011, adalah sebanyak 1.925.306 hektare. Masyarakat Adat menuntut agar pemerintah mengembalikan tanah-tanah terlantar tersebut kepada mereka, karena merupakan wilayah adat mereka, dan agar pemerintah mengakui hak teritorial mereka (18).

Ekstraktivisme 'Hijau'

Pemerintah Indonesia mengabaikan tuntutan masyarakat adat dan justru mendorong jenis ekstraktivisme lain berkembang di Indonesia—yaitu ekstraktivisme 'hijau' dari proyek dan program karbon hutan yang seringkali merampas tanah dan hanya menguntungkan perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejak Perjanjian Iklim Paris, permintaan kredit karbon didorong oleh kegilaan industri-industri besar yang mencemari lingkungan agar menjadi 'netral karbon'. Kenyataannya, dengan membeli 'kredit' tersebut, industri-industri yang mencemari lingkungan ini dapat terus menjalankan kegiatan mereka dan bahkan meningkatkan pembakaran bahan bakar fosil—yang merupakan penyebab utama kekacauan iklim. Itulah sebabnya 'kredit karbon' harus disebut 'kredit polusi'.

Pasar karbon ini adalah kepentingan pemerintah Indonesia: pemerintah telah menerima puluhan juta dolar AS dari Bank Dunia, Dana Iklim Hijau, dan pemerintah negara-negara industri seperti Norwegia, Jerman, Jepang, dan Inggris untuk menjadi negara 'siap REDD'. Ini berarti Indonesia menyiapkan 'infrastruktur' yang diperlukan—seperti legislasi dan metode yang mendukung pengukuran dan verifikasi jumlah karbon di hutan Indonesia—yang dibandingkan dengan jumlah dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dan donor sendiri (19).

Selain menjadi peluang baru bagi 'industri konservasi'—misalnya organisasi seperti The Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI), dan World Wildlife Fund (WWF)—untuk meningkatkan 'kawasan lindung,' bisnis karbon di Papua juga menjadi peluang baru bagi industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan penebangan. Namun, bisnis baru mereka justru memperburuk kekacauan iklim dan mempersulit perjuangan Masyarakat Adat untuk mendapatkan hak teritorial mereka.

 


Kotak: Pasar karbon dan perdagangan karbon: Peluang baru bagi industri ekstraktif, ancaman baru bagi Masyarakat Adat di Papua.

Perusahaan kelapa sawit dan perusahaan lain di Papua kini dapat memanfaatkan sumber pendapatan baru. Alih-alih menghancurkan hutan untuk penebangan atau kelapa sawit, mereka dapat membiarkan hutan 'berdiri' dan tetap menghasilkan uang, dengan menjual produk baru yang disebut 'kredit karbon'—berdasarkan janji bahwa mereka akan menjaga hutan tetap utuh alih-alih menebangnya. Pemerintah Indonesia mengizinkan perusahaan dalam kategori konsesi PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaataan Hutan) untuk menggunakan area konsesi untuk lebih dari satu kegiatan komersial, yang dapat mencakup kredit karbon. Misalnya, Grup ALS (grup Alamindo), pemilik tiga perusahaan dan industri kayu di Papua, bermaksud mendirikan bisnis karbon melalui PT Rimbakayu Arthamas, bekerja sama dengan sembilan perusahaan lain, dengan memanfaatkan jenis izin ini (20).

Di Brasil, perusahaan kelapa sawit memasuki pasar karbon dengan cara yang sama, sambil terus merugikan masyarakat adat. Perusahaan Agropalma di negara bagian Pará di wilayah Amazon menggunakan lahan hutan (bukan untuk budidaya kelapa sawit) untuk menjual ‘kredit karbon.’ ‘Hutan karbon’ ini ‘dilindungi’ oleh aparat bersenjata lengkap yang menganiaya masyarakat adat Turiwara dan masyarakat keturunan Afrika, yang disebut quilombolas. Masyarakat ini selalu mencoba memasuki hutan, karena itu adalah wilayah leluhur mereka, tempat kuburan leluhur dan tempat memancing serta berburu (21). Dengan adanya proyek karbon hutan baru-baru ini, perjuangan mereka yang sudah berlangsung lama untuk merebut kembali tanah-tanah ini menjadi semakin sulit.



Secara global, 17 tahun pengalaman dengan karbon hutan dan proyek-proyek lain yang disebut sebagai REDD telah menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat adat untuk hak-hak teritorial mereka melemah di mana pun bisnis karbon berkembang,. Padahal, para promotor dan pendukung proyek karbon mengklaim dan berjanji bahwa proyek-proyek tersebut akan memajukan dan meningkatkan hak-hak teritorial masyarakat adat.” (22). Yang lebih parah lagi, proyek-proyek karbon tidak banyak membantu untuk membalikkan deforestasi, namun justru memperburuk kekacauan iklim—yang berdampak negatif pada hutan tropis, dan Masyarakat Adat yang tinggal di dalamnya. Menurut penelitian, hutan Amazon sedang dalam proses 'mengering' dengan cepat. Hutan Amazon bisa menjadi sabana besar dalam waktu dekat jika pemerintah, khususnya negara-negara industri, tidak segera memutuskan untuk melindungi tempat penyimpanan bahan bakar fosil di bawah tanah dari ekstraksi (23).

Penutup

Pemerintah Indonesia tidak boleh mengabaikan keberadaan Masyarakat Adat di tanah Papua, yang perwakilannya secara rutin mendatangi kantor pemerintah di Ibu Kota Jakarta. Menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan swasta dan membiarkan perusahaan tersebut merusaknya, atau melakukan ekstraktivisme 'hijau', jelas-jelas melanggar Pasal 33 Konstitusi Indonesia—yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus “dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat Indonesia.” Dalam wawancara baru-baru ini dengan Al Jazeera, presiden terpilih Indonesia, Prabowo, bahkan menegaskan bahwa “kepentingan, keamanan, dan masa depan semua masyarakat adat adalah prioritas tertinggi menurut saya. Kita harus melindungi mereka, kita harus mengamankan sumber kehidupan mereka” (24).

Namun, mengamankan sumber kehidupan mereka berarti memastikan mereka dapat dengan bebas menjalankan serta memiliki kendali atas wilayah mereka. Tuntutan ini secara sistematis diabaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, memperkuat perjuangan perlawanan adalah kuncinya. Hal ini dapat terjadi melalui proses pembelajaran horizontal yang menghubungkan komunitas di seluruh dunia, sehingga mereka dapat berbagi pengalaman perlawanan yang beragam terhadap perkebunan tersebut. Salah satu contohnya adalah aliansi informal melawan perluasan kelapa sawit industri di Afrika Barat dan Tengah, yang sejak 2016 telah menghubungkan komunitas yang berjuang untuk merebut kembali tanah mereka dari perusahaan kelapa sawit di beberapa negara Afrika (25). Menghubungkan perjuangan melawan kelapa sawit dan ancaman ekstraktif lainnya mungkin menjadi elemen kunci dalam memperkuat perjuangan masyarakat di Papua yang sedang berlangsung untuk mempertahankan wilayah mereka.

Sekretariat Internasional WRM

Sumber:
(1) https://awasmifee.potager.org/uploads/2015/04/atlas-sawit-en.pdf
(2) https://news.mongabay.com/2022/01/spurred-by-investor-friendly-law-palm-oil-firms-sue-to-get-licenses-back/   
(3) Sawitwatch. Catatan&Proyeksi perkebunan sawit Indonesia tahun 2023, 2023
(4) https://nusantara-atlas.org/2023-marks-a-surge-in-palm-oil-expansion-in-indonesia/
(5) https://www.wrm.org.uy/bulletin-articles/indonesia-legalizing-crimes-under-the-slogan-of-creating-jobs
(6) After the Indonesian government took over, the first foreign investment approved for the land of Papua in 1967 opened the door for Freeport Sulpur Inc. to extract ore from what is considered one of the world's biggest gold reserves, with devastating impacts on the communities that continue to this day.
(7) Brief Paper: Karena ada Hutan Tong Hidup, Jakarta, 2023
(8) https://pusaka.or.id/en/the-awyu-tribe-fights-the-tanah-merah-project-companies-up-to-the-supreme-court/
(9) https://grain.org/en/article/7123-oil-palm-in-latin-america-monoculture-and-violence
(10) https://www.cifor-icraf.org/publications/pdf_files/factsheet/7444-factsheet.pdf
(11) Toxic river. The fight to reclaim water from oil palm plantations in Indonesia, December 2020, Kruha et al,
(12) https://www.wrm.org.uy/publications/breaking-the-silence-harassment-sexual-violence-and-abuse-against-women-in-and-around-industrial-oil-palm-and-rubber-plantations and https://www.aljazeera.com/news/2020/11/18/rape-abuses-in-palm-oil-fields-linked-to-top-cosmetic-brands-ap
(13) See for example: https://chainreactionresearch.com/report/latin-american-palm-oil-linked-to-social-risks-local-deforestation/ or https://news.mongabay.com/2015/03/whos-funding-palm-oil/
(14) https://grain.org/en/article/5272-how-much-of-world-s-greenhouse-gas-emissions-come-from-agriculture
(15) https://news.mongabay.com/2022/01/spurred-by-investor-friendly-law-palm-oil-firms-sue-to-get-licenses-back/   
(16) Ibid
(17) https://pusaka.or.id/en/land-back-supreme-court-ceremonial-venue-for-papuan-indigenous-peoples-fighting-palm-oil-companies/ So far, only seven communities have ensured control over their land through the use of a legal category that was created through changes in the Forestry Law of 2012. They are called 'customary forests,’ and total 39.841 hectares. It is an important step, though insignificant at the same time, when compared with the areas released to companies--comapnies that are heavily impacting livelihoods and threatening the future of IPs.
(18) Brief Paper: Karena ada Hutan Tong Hidup, Jakarta, 2023
(19) Indonesia REDD+ National Strategy 2021-2030; Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia November 2022
(20) https://pusaka.or.id/en/tag/papuanforests/
(21) https://www.wrm.org.uy/bulletin-articles/redd-and-the-green-economy-exacerbate-oppression-and-deforestation-in-para-brazil
(22) https://www.wrm.org.uy/publications/15-years-of-redd
(23) https://www.the-scientist.com/amazon-rainforest-nearing-savannah-tipping-point-69782
(24) https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=51Rctpb_EJg
(25) See the declaration from the last meeting of this Alliance in 2022 in this link